PERAN SANTRI MEREBUT KEMERDEKAAN
Jihad Santri Melawan Penjajah |
PENDAHULUAN
Mula-mula,
rombongan kapal dagang Portugis yang mencari rempah-rempah berhenti di bandar
pelabuhan besar di Aceh, mereka menguasai dan bermaksud memonopoli perdagangan,
itu terjadi antara tahun 1511 Masehi dibawah pimpinan Alfonso de Albuquerque.
Portugis juga melarang pelaut Aceh berlayar dan berdagang di sekitaran Laut
Merah, belakangan mereka juga menangkapi kapal-kapal Aceh di lautan, dan hal
itu memicu kemarahan rakyat Aceh, sehingga terjadilah perlawanan. Kongsi dagang
yang baik dengan wilayah lain membuat Aceh memiliki banyak bala, mereka
melengkapi kapal-kapal jung dengan meriam, kemudian mendatangkan bala tentara
dan teknisi senjata dari Turki, dan bantuan persenjataan dari Kalikut dan
Jepara. Tahun 1629, serangan dari pasukan Sultan Iskandar Muda berhasil membuat
Portugis kepayahan, namun peperangan itu tidak berpangkal. Dan Portugis
mengalami kemunduran wilayah kekuasaan setelah VOC yang ditukangi orang-orang
Belanda datang ke sana. Dan perlawanan rakyat Aceh terus berlanjut selama
berabad-abad kemudian.
Portugis
gagal memonopoli perdagangan, mereka juga kesulitan meletakkan misi Gold, Glory, dan Gospel-nya.
Portugis terkatung-katung di Aceh, dan terusir ketika akan menguasai Jawa.
Tentang kekalahan Portugis di Jawa itu, pada tahun 1527, Fatahillah atau yang
biasa dikenal lidah Jawa menjadi Falatehan, seorang panglima pasukan Cirebon
yang bersekutu dengan Demak, melawan kapal-kapal Portugis yang akan berlabuh di
Sunda Kelapa. Portugis berhasil dipukul mundur setelah perlawanan sengit dari
pasukan Fatahillah membuat banyak pasukan mereka tewas dan terluka, atas
kemenangan itu, Fatahillah kemudian mengganti nama kota Sunda Kepala menjadi
Jayakarta, sebagai wujud kemenangan secara simbolis.
Masih
di abad yang sama, kapal-kapal dagang Belanda yang sebelumnya hanya bertugas
sebagai pengecer rempah-rempah mulai masuk ke Nusantara. Mereka membawa empat
kapal dengan 249 awak dan 64 pucuk meriam. Ekspedisi itu dipimpin oleh Cornelis
de Houtman. Lalu pada Juni 1596, kapal-kapal itu sampai ke Banten, sebuah pelabuhan
lada terbesar di Jawa Barat. Tetapi Cornelis de Houtman banyak mengalami
penolakan dan perlawanan karena sikap mereka yang sombong dan licik, selama dua
tahun berlayar, mereka hanya pulang dengan tiga kapal dan 89 awak yang selamat.
Sebab selain dilawan penduduk lokal, para penjelajah Belanda itu terkendala
cuaca dan wabah penyakit. Meskipun belum menemukan pusat rempah-rempah di Timur
Nusantara, ekspedisi yang dipimpin Cornelis de Houtman itu telah membuka jalur
pelayaran bagi penjelajah Belanda untuk berikutnya.
MC
Ricklefs menulis. ‘’Kini mulailah zaman yang dikenal sebagai zaman
pelayaran-pelayaran liar atau tidak teratur (wilde vaart), yaitu ketika perusahaan-perusahaan ekspedisi Belanda
saling bersaing berjuang keras untuk memperoleh bagian dari rempah-rempah
Indonesia.’’
Tahun
1598, sebanyak 22 kapal milik lima perusahaan Belanda yang berbeda berlayar ke
Nusantara. Kemudian armada pimpinan Jacob van Neck menemukan ‘Kepulauan
Rempah-rempah’ di Maluku pada Maret 1599. Ketika kembali ke Belanda, mereka
mengeruk keuntungan sebanyak 400 persen. Banyaknya keuntungan itu membuat
Belanda membentuk Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1602,
yang menyatukan para pengusaha Belanda seluruhnya. VOC lalu mengusir Portugis
di Maluku, menduduki bandar-bandar ramai di Sumatera, dan menduduki pelabuhan
besar di sepanjang Jawa. Dari sinilah, perlawanan rakyat mulai dibentuk.
PERLAWANAN RAKYAT
VOC
mengendalikan monopoli perdagangan dalam waktu yang sangat lama. Pengendalian
itu memberikan dampak buruk untuk kebutuhan lainnya bagi rakyat Nusantara: VOC
bersentuhan dengan rakyat, mulai ikut campur urusan rakyat, membuat rakyat
marah dan melawan, lalu mereka melakukan penyelesaian masalah dengan cara
semena-mena. VOC juga mendatangkan banyak tentara dari Eropa, sebagian besar
merupakan orang-orang asli dari Belanda. Sedang sebagian lain merupakan tentara
bayaran dari Perancis, Belgia, dan Jerman. Dalam sejarahnya, mereka banyak
terlibat peperangan dengan raja-raja Nusantara. Dan banyak sekali dari
raja-raja itu adalah pemeluk Islam, sebabnya mereka melihat ada kesalahan VOC
dalam menguasai perdagangan, dan melihat langsung dampak buruk ketika ekonomi
mereka dikuasai orang-orang kulit putih. Maka terjadilah perlawanan dari
raja-raja Nusantara. Di antara banyak perlawanan itu, beberapa adalah:
1.
Perang Maluku.
Ahmad
Lussy Pattimura tidak suka melihat politik Belanda yang membikin rakyat Maluku
sengsara. Sebab Belanda memberlakukan kerja wajib dan penyerahan hasil bumi
namun pembayaran tidak lancar, belum lagi pengerahan pemuda Maluku menjadi
prajurit Belanda, lalu pemindahan penduduk secara paksa, dan pelayaran Hongi
yang merugikan. Selama dua abad mereka merasakan sengsara, dan peperangan
diawali Kapitan Pattimura yang menyerahkan daftar keluhan kepada Residen Van
den Bergh, daftar itu berisi tindakan semena-mena pemerintah Kolonial yang
menyengsarakan rakyat. Tapi daftar itu tidak ditanggapi secara serius. Kemudian
setelah mendapat dukungan dari Raja-raja Patih, para Kapitan, Tua-tua Adat dan
rakyat, Kapitan Pattimura menyerbu Benteng Duurstede di Saparua. Belanda yang
bertahan terdesak dan mengalami kekalahan telak. Orang Maluku berhasil
menduduki Benteng Duurstude. Namun Belanda tidak kehabisan akal, lewat politik
adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus yang dilakukan Belanda, benteng itu kembali
direbut pada awal Agustus 1817. Atas jatuhnya benteng itu, Kapitan Pattimura
dan pengikutnya ditangkap Belanda, kemudian dihukum gantung di Benteng
Duurstude pada 16 Desember tahun 1817. Sesudah itu, perlawanan rakyat Maluku menjadi
padam dan hilang lentera.
2. Perang Rakyat Bone.
Setelah
Kesultanan Gowa jatuh, Kesultanan Bone menjadi kesultanan terkuat di Sulawesi.
Wilayahnya didukung Kesultanan Luwu, Soppeng, dan negara-negara kecil yang
bersekutu dengan Bone. Belanda kembali setelah mereka memenangkan Convention of
London yang memuat dikembalikannya wilayah koloni Belanda yang sebelumnya
dikuasai oleh Inggris. Kembalinya Belanda membuat peperangan pecah di Jawa,
Kalimantan, Maluku, dan juga Sulawesi. Tahun 1824, Gubernur Jenderal Baron van
der Capellen mengadakan lawatan ke Sulawesi dan Maluku, rombongan mereka
disambut baik oleh penguasa-penguasa wilayah, termasuk Ratu Bone, kecuali
penguasa Suppa dan Tanete, yang waktu itu ikut kekuasaan Bone. Menangkap
gelagat kurang baik, Gubernur Jenderal Baron van der Capellen mengirim kembali ekspedisi
darat dan laut yang membawa 500 serdadu dan empat meriam, dua howitzer, dan 600
pasukan pembantu pribumi dengan tujuan menghukum Bone. Pasukan itu terus
dilawan oleh rakyat Tanete, setelahnya ternyata ratu mereka, Aru Datu Sultanah
Salima Rajiatuddin berhasil digulingkan dan menyerahkan diri. Ratu melarikan
diri ke pedalaman dan Belanda berhasil membereskan perlawanan rakyat Tanete
dengan baik. Kemudian Belanda menyerang Suppa, tetapi Suppa tangguh dan kuat.
Banyak prajurit Belanda tewas dan luka-luka, kemudian Belanda mundur untuk
merencanakan peperangan di waktu lain. Kemudian mereka datang lagi dengan
25.000 tentara dengan tujuan serangan besar-besaran. Mereka berhasil menaklukkan
Pangkajene, menduduki Tanete, merebut benteng di Maros dan mengalahkan
perlawanan orang Bone. Tahun 1825 pasukan mereka menuju Makassar, kemudian
bergerak menuju Suppa dan melihat sultannya menyerah dan dilucuti. Selanjutnya
Perang Bone I dinyatakan selesai.
3.
Perang Jawa.
Menurut
Carey, kembalinya Belanda setelah Convention of London tahun 1814 dan disusul
Treaty of London pada tahun 1824 itu menimbulkan banyak ketidakcocokan, rasa
kecewa dan marah timbul dari kalangan bangsawan dan rakyat. Pada dasarnya Jawa
banyak merasakan rasa sengsara setelah Belanda dengan liciknya menerbitkan
sistem tanam paksa dan sekelompok peraturan tidak masuk akal. Lantas untuk
menyikapi ini, Pangeran Diponegoro melakukan langkah antisipatif, mula-mula ia
membebaskan para petani penggarap dari kewajiban membayar uang sewa dan uang
sewa yang seharusnya dikirim itu dibelikan senjata. Itu memberi kemungkinan
bahwa Pangeran Diponegoro sudah mempersiapkan jalan lain untuk berperang. Melihat
derita rakyat yang berkepanjangan, Pangeran Diponegoro ingin memutus semua itu
dengan cara berperang. Pangeran Diponegoro kemudian membentuk sepasukan dari
kalangan santri, kiai, petinggi, orang-orang tarekat, bahkan banyak di antara
pasukan itu adalah pemabuk dan perampok; itu memberi dampak dan ciri bahwa
Belanda telah memberi pengaruh buruk kepada seluruh golongan pribumi.
Perang
Jawa dimulai antara 19 Juli 1825 dan berakhir pada 28 Maret 1830. Pemerintah
Belanda mengalami kerugian yang luar biasa, mereka banyak memberikan anggaran
gulden untuk peperangan yang berkecamuk. Apalagi di tahun yang sama, di
Sumatera meletus Perang Padri. Menurut catatan, sekitar 12.749 tentara
meninggal di rumah sakit. Sedangkan jumlah yang hilang atau tewas mencapai
15.000 orang, lebih dari setengah, atau sekitar 8.000, adalah orang Eropa.
Meskipun begitu diperkirakan 200.000 orang Jawa mati terbunuh. Sedangkan
200.000 sisa-sisa pasukan yang selamat berpencar ke daerah lain untuk
melanjutkan perlawanan terhadap Belanda. Peperangan itu didukung ulama dari
beberapa pesantren dan penganut tarekat di Jawa dan pulau-pulau sekitarnya. Pada
akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap lewat siasat licik Jenderal de Kock,
kemudian Pangeran Diponegoro dibuang ke Manado. Dan Perang Jawa dinyatakan
selesai.
SITUASI PERANG DUNIA KE II DAN
POSISI INDONESIA
Tahun
1939 Jerman dibawah kendali Hitler menginvasi negara dekatnya, Polandia.
Kemudian invasi itu disusul serangkaian pernyataan perang terhadap Jerman oleh
Inggris dan Perancis. Tetapi Nazi dibawah kendali Hitler tidak terbendung dan
menduduki negara-negara sekitar seperti Belanda, Belgia, Perancis, dan
belakangan melakukan operasi besar-besaran menuju timur Eropa melawan Uni
Soviet. Sementara anggota Poros selain Jerman dan Italia, yaitu Jepang,
bertempur di teater Pasifik. Serbuan Poros ini memaksa banyak negara
mengantisipasi dengan mengirimkan tentara dan pasokan makanan agar perang cepat
selesai dan Sekutu berada di pihak yang menang. Namun keadaan berbalik buruk
setelah Inggris menarik pasukannya di Dunkirk, Italia menyerbu Perancis, dan
dua belas hari kemudian Perancis menyerah dan daerahnya dibagi menjadi dua
kelompok. Lalu pada 7 Desember 1941, Jepang melakukan serbuan terhadap
pangkalan perang Amerika di Pearl Harbor, sebab Jepang yakin jika Amerika akan
ikut campur terhadap kepentingan perang Jepang di area Pasifik.
Jepang
semakin getol melakukan serbuan, setelah sebelumnya menduduki bagian utara
Tiongkok dan menduduki Korea, mereka juga menduduki kepulauan di Oceania dengan
dalih alasan pertahanan strategis. Penyerbuan Jepang berlanjut menuju Indocina,
sebab mereka ingin menguasai ladang minyak dan sumber daya mineral yang tidak
mereka temukan di Jepang. Dan di Indocina, Jepang berhasil mengusir Inggris,
Belanda, Amerika, dan Perancis. Atas dasar itu, Sekutu mengambil langkah tegas
dengan cara membekukan aset-aset milik Jepang. Tapi Jepang tidak ambil peduli
oleh keputusan itu, mereka menciptakan perimeter defensif besar yang membentang
sampai Pasifik Tengah, dan dengan cara itu seluruh keperluan dalam ekspoitasi
sumber daya bisa berjalan lancar. Mula-mula setelah penyerangan singkat di Pearl
Harbor, Jepang melakukan pendaratan di Thailand dan Malaya, bertempur di Hong
Kong, sebelum kemudian menguasai Filipina, Singapura, Burma, dan Hindia Timur
Belanda. Sekutu mengalami banyak kerugian atas serangan cepat itu, di Singapura
saja, Inggris kehilangan 80.000 tentara karena ditawan. Jepang ada dimana-mana,
mereka berperang di Laut Tiongkok Selatan, Samudera Hindia, dan Laut Jawa, lalu
berhasil memenangkan pertempuran dengan mudah.
Sementara
kedatangan Jepang ke Hindia Belanda pertama kali adalah melalui Ambon dan
menguasai seluruh Maluku pada Januari tahun 1942. Lalu Jepang muncul di Tarakan
dan merebut pangkalan minyak di sana. Di
bulan yang sama, Jepang berhasil memasuki wilayah Sumatera, kemudian di bulan
Februari, Jepang mulai masuk Pulau Jawa. Setelah sebelumnya berhasil menguasai
daerah luar Jawa, pemerintahan Jepang yang waktu itu komandonya dipegang oleh
Angkatan Laut memusatkan perhatian agar Jawa dijadikan sebagai pusat
pemerintahan.
Sebenarnya
blok Sekutu mulai mempersiapkan langkah untuk mempertahankan diri, mereka
membentuk Komando Gabungan Tentara Serikat yang disebut ABDACOM (American
British Dutch Australian Command) yang bermarkas di Lembang. Tetapi satuan ini
tidak dapat menyelamatkan Hindia Belanda dari kekalahan. Pertempuran di Laut
Jawa berhasil dimenangkan Jepang setelah mereka memukul pasukan yang dipimpin
Laksamana Karel Doorman. Sisa-sisa pasukan yang selamat kemudian melarikan diri
ke Australia.
Pendaratan
balatentara Jepang di Jawa pada 1 Maret 1942 terjadi di tiga tempat. Pendaratan
di Banten dipimpin Jenderal Imamura. Pendaratan di Indramayu dipimpin Kolonel
Tonishori, pendaratan di Bojonegoro dikoordinasi Mayjen Tsuchihashi. Mereka
menyerbu pusat kekuatan Belanda, membunuh dan menawan mereka yang menyerah.
Tanggal 5 Maret Batavia jatuh kepada Jepang, mereka lalu bergerak ke selatan
untuk menguasai Buitenzorg (Bogor) dan Bandung.
Lalu
pada tanggal 8 Maret 1942, Jenderal Ter Poorten yang mewakili Belanda di pihak
Sekutu menandatangai penyerahan tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati, Subang.
Dan hal itu menandai berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia secara
keseluruhan. Atas kemenangan Jepang itu, rakyat Indonesia menyambut balatentara
Jepang dengan sorak dan gembira. Rakyat menganggap Jepang telah membebaskan
mereka dari penindasan Eropa kulit putih. Euforia kegembiraan itu membuat
kerusuhan yang meledak di Tangerang-Jakarta-Bogor yang disebut penggedoran, yaitu aksi anarkis penduduk
menyerang kantor-kantor, rumah-rumah, toko-toko, gudang milik orang asing
sehingga jatuh 6.000 korban dari pihak asing. Dan Jepang mengambil tindakan
tegas atas aksi tersebut (Frederick, 1988).
Untuk
meredam kegiatan yang bisa menimbulkan langkah-langkah negatif, Jepang justru
melarang semua penduduk untuk mengadakan kegiatan rapat atau serangkaian acara
yang berbau politik. Jepang juga membubarkan semua organisasi politik, diikuti
dengan diwajibkannya mengibarkan bendera Hinomaru dan lagu kebangsaan Jepang,
Kimigayo. Kemudian tanggal 1 April 1942 dikeluarkan aturan yang menyesuaikan
waktu Indonesia dengan waktu Tokyo yang berbeda 90 menit lebih awal. Semua
kegiatan jadwal seperti perjalanan kereta api, jam kerja kantor, pabrik, dan
sekolah harus mengikuti waktu Tokyo. Jepang juga melarang penduduk untuk
memiliki dan mengendarai kendaraan bermotor. Dan seluruh kendaraan itu harus
diserahkan kepada pihak Jepang. Selain itu, penduduk hanya boleh menyebut
negeri Jepang dengan Dai Nippon, dan menyebut bangsa Jepang dengan Nipponjin.
Penggunaan sebutan Jepang, Jepun, Japan, dan Jepon sangat dilarang keras
(Dimyati, 1951).
Kemudian
satu peraturan Jepang yang paling ditentang oleh kalangan kiai adalah prosesi
penyembahan kepada Kaisar Tenno Heika yang mereka yakini sebagai keturunan Dewa
Matahari, dan oleh mereka ritual itu disebut sekerei. Prosesi ini dilakukan pada jam 7 pagi saat matahari bulat
sempurna selama 15 menit. Dilakukan secara bersama-sama dan ada seorang
pemimpin sebagai pemberi aba-aba. Ini jelas bertentangan dengan akidah agama
Islam. Para kiai dan ulama menentang keras penyembahan tersebut, Jepang yang
merasa tersinggung kemudian menangkapi kiai-kiai yang menolak menyembah
matahari.
Kiai
Hasyim Asyari dijemput polisi rahasia Kempetai dan dimasukkan ke dalam penjara
untuk disiksa. Sedangkan 30 kiai yang berasal dari Tulungagung, Trenggalek,
Kediri, Nganjuk, dan Blitar ditangkap dan dibawa ke markas Kempetai di Malang,
mereka dimasukkan ke dalam penjara selama 9 bulan dan disiksa tanpa mengenal
waktu (Purnawan Buchori, 2016).
Lain
kejadian, Jepang mulai membentuk serangkaian propaganda untuk membantu mereka
dalam memenangkan perang Asia Pasifik. Mula-mula yang dilakukan oleh
pemerintahan Dai Nippon adalah membentuk gerakan Tiga A. Yaitu: 1. Jepang
pemimpin Asia; 2. Jepang cahaya Asia; 3. Jepang pelindung Asia, yang harus didukung
saudara muda, yaitu Indonesia. Mereka membentuk Putera (Pusat Tenaga Rakyat),
untuk melengkapi propaganda mereka. Pihak Jepang juga menggunakan pemuda
nasional sebagai penggerak, oleh mereka kelompok ini dinamakan ‘Empat
Serangkai’: mereka adalah, Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan
KH. Mas Mansyur. Melalui ini Soekarno menggalang para pemuda untuk membantu
kepentingan Jepang dalam perang. Jepang juga membentuk Seinendan dan Keibodan.
Seinendan beranggotakan 5.000.000 pemuda nasionalis, dan Keibodan beranggotakan
500.000 orang yang umumnya lemah semangat nasionalismenya (Asmadi, 1985).
Sebagai
konsekuensi atas pembentukan barisan tersebut, para pemuda ini kemudian dikirim
untuk menjadi tenaga dalam membangun kubu pertahanan, pangkalan militer,
lapangan terbang, gudang persenjataan, meriam pantai, jalur transportasi,
terowongan bawah tanah, dan tetek bengek atas nama kepentingan perang. Jepang
juga menjalankan program kerja paksa yang mereka sebut romusha. Para pekerja
paksa ini umumnya adalah para petani miskin di wilayah Jawa Timur dan Jawa
Tengah yang dipekerjakan untuk proyek-proyek militer. Bahkan ada banyak dari
romusha dikirim Jepang ke Sumatera, lebih jauh ke Burma, Thailand, dan bagian
timur Indonesia untuk kebutuhan militer. Para romusha ini dibayar sangat murah
dan diperlakukan lebih buruk dari budak belian, sehingga setiap satu proyek
pembangunan nyaris terjadi setiap hari para romusha mati karena kelaparan,
penyakit, dan siksaan di luar batas kemanusiaan. Menurut W.F. Wertheim, dari
hampir 300.000 orang romusha yang dikirim ke seberang laut, hanya sekitar
70.000 yang kembali lagi sesudah perang.
Selain
itu, Jepang juga semena-mena merampas barang-barang penduduk, mereka menyita
dan mengambil paksa hak-hak milik petani, buruh, pedagang kecil, pengangguran,
sehingga untuk pertama kali dalam satu negeri yang berkelimpahan
sandang-pangan, ditemukan banyak sekali orang-orang kelaparan dan orang mati
yang berserakan di sepanjang jalan. Karena beras sudah tidak tersedia di rumah,
orang kemudian terpaksa mengolah tepung kanji, katul sekam, jantung dan bonggol
pisang, bekicot, daun beluntas, daun kenikir, ubi, kreco dan lain-lain.
Sedangkan pakaian mereka terbuat dari goni, bagor, dan karet olahan. Untuk
penduduk yang dianggap Jepang ekonominya mampu, mereka dipaksa Jepang agar
menyumbangkan perhiasan emas, permata, jam dinding, arloji, bahkan pagar besi
yang katanya dipentingkan untuk memenangkan peperangan Asia Timur Raya.
Atas
dasar kekejaman itu, para penduduk mulai menyatakan sikap antipati terhadap
kependudukan Jepang di Indonesia. Mereka kemudian mulai melancarkan
pemberontakan secara bergelombang. Menurut catatan, orang Aceh melakukan
perlawanan terhadap Jepang yang dipimpin pimpinan agama mereka, Tengku Abdul
Jalil. Selain itu di Sukamanah, Tasikmalaya, KH. Zainal Mustafa juga melakukan
perlawanan kepada Jepang. KH. Zainal Mustafa tidak tahan lagi melihat kekejaman
Jepang yang membuat rakyat kecil sengsara. Peristiwa pemberontakan itu pecah
pada 25 Februari 1944 setelah salat Jumat. Dalam pertempuran itu, banyak
tentara Jepang yang terluka dan tewas. Namun juga banyak pihak rakyat yang
gugur setelah melakukan perlawanan sengit terhadap tentara Jepang. KH. Zainal
Mustafa selanjutnya berhasil ditangkap dan dimasukkan ke tahanan. Pesantren
Sukamanah dibakar habis. Kemudian KH. Zainal Mustafa dibawa ke Ancol untuk
dihukum penggal.
Belum
dingin peristiwa pemberontakan itu, di Kalimantan Barat pecah perlawanan rakyat
terhadap Jepang. Dipimpin Pang Suma, pemimpin suku Dayak yang besar pengaruhnya
di daerah Tayan dan Meliau, ia melakukan perlawanan meskipun pada akhirnya
tewas dibunuh. Sedangkan bulan Juli 1944 di Indramayu, para rakyat melakukan
pemberontakan melawan Jepang, diawali oleh rakyat Lohbener dan Sindang yang
tidak tahan lagi melihat perlakuan Jepang yang kejam dan biadab (Hidajat,
1961).
Perlawanan terberat yang dihadapi Jepang adalah ketika tentara sukarela PETA Daidan II Blitar melakukan pemberontakan pada 14 Februari 1945. Dipimpin Shodanco Supriadi, mereka menyerang markas Jepang tepat pukul 03.00 dini hari. Pemberontakan itu adalah tamparan keras bagi Jepang.
JEPANG MERANGKUL ISLAM UNTUK KAMPANYE KEMENANGAN
Harry
J. Benda dalam Bulan Sabit dan Matahari Terbit:
Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang (1985),
menegaskan bahwa sejak pertengahan tahun 1920-an dan selanjutnya, lembaga yang
berbakti kepada studi Islam dan majalah-majalah yang membahas Islam mulai
muncul di Jepang. Itu ditegaskan lewat penguasa Jepang yang meningkatkan jumlah
mahasiswa Islam dan guru-guru Islam. Bahkan untuk pertama kalinya, masjid bisa
berdiri di wilayah Kobe. Tiga tahun kemudian menyusul di kota Tokyo.
Dengan
pemahaman yang luas tentang Islam, terutama Islam di Indonesia di tengah
tekanan perlawanan Sekutu di pertempuran Pasifik, harapan Dai Nippon kemudian
diarahkan kepada kekuatan pribumi muslim yang diharapkan bisa membantu Jepang
dalam berperang. Gagasan itu sudah dirumuskan oleh pimpinan tentara Jepang yang
beragama Islam seperti Mohammad Abdul Muniam Inada, Abdul Hamid Ono, dan Lettu
Yunagawa. Namun usulan itu masih memerlukan dukungan riil dari golongan kiai
dan ulama. Pertama dalam dilanjutkannya gagasan itu adalah mengirim surat kabar
Asia Raya, tertanggal 13 September
1943, surat kabar itu mengumumkan usulan sepuluh ulama (KH. Mas Mansyur, KH.
Adnan, Dr. H. Karim Amrullah, H. Mansur, H. Cholid, KH. Abdul Majid, H. Jacob,
KH. Djunaedi, U. Muhtar, dan H. Moch. Sadri), yang menuntut dibentuknya tentara
sukarela bukan wajib militer tetapi tentara pembela Pulau Jawa yang terdiri
dari pemuda-pemuda Islam. Setelah Jepang berhasil menciptakan opini yang baik
dan para ulama menyetujui pembentukan tentara sukarela yang terlatih baik, maka
pada 3 Oktober 1943 Saiko Sikikan mengeluarkan Osamu Osirei No. 44 tentang
pembentukan Boei Gyu Gun Kanbu Rensetai (Tentara Sukarela Pembela Tanah Air)
yang disingkat PETA. Terdiri dari 69 batalyon di Jawa dan Bali. Pendaftaran
mulai dibuka pada 7 Oktober 1943 menurut wilayah karesidenan. Ketentuan menjadi
anggota PETA adalah:
1.
Tentara Sukarela PETA adalah warganegara pribumi asli.
2.
Anggota Tentara Sukarela PETA dilatih oleh Jepang.
3.
Tentara Sukarela PETA bukan milik organisasi mana pun, langsung di bawah
Panglima Tentara Jepang.
4.
Tentara Sukarela PETA, adalah tentara teritorial yang berkewajiban
mempertahankan wilayahnya (Syuu).
5.
Tentara Sukarela PETA, siap melawan Sekutu. Para Daidancho dipilih dari
kalangan orang yang bergerak dibidang pendidikan, pamong praja, alim ulama,
guru agama, guru.
Kemudian
struktur organisasi PETA mengikuti ketentuan dalam kemiliteran modern yang
menggunakan Bahasa Jepang, dimana tentara PETA yang berjumlah 38.000 dan dibagi
69 batalyon, yang masing-masing batalyon dipimpin mayor, masing-masing batalyon
beranggota 535 orang, yang terbagi atas 4 kompi dan dipimpin seorang kapten.
Tiap-tiap kompi terdiri dari 3 pleton yang dipimpin letnan dimana masing-masing
pleton terdiri dari 132 orang. Tiap-tiap pleton terdiri dari 4 regu yang
dipimpin sersan, dimana tiap regu beranggota 11 prajurit.
Ternyata
dari 69 orang perwira yang berpangkat mayor, cukup banyak dari mereka adalah
kiai dan mereka-mereka yang mendapat pendidikan di pesantren. Maka surat kabar Asia Raya 22 Januari 1944 mempertanyakan
sebutan yang pas untuk para komandan batalyon itu. ‘’Apa para kiai cukup
disebut daidancho atau ada tambahan daidancho kiai?’’ Fakta tentang banyaknya
kiai di kesatuan PETA dapat dikata sebagai keniscayaan terkait dengan kebijakan
politik Jepang sejak tahun 1933 ingin memanfaatkan kekuatan umat Islam untuk
mendukung ambisi politik Jepang.
PEMBENTUKAN
LASYKAR HISBULLAH
Pembentukan
Tentara Sukarela PETA membuka babak baru dalam bidang kemiliteran modern bagi para
pemuda muslim. Jika sebelumnya perlawanan terhadap Belanda yang dimotori pemuka
agama dan didukung oleh rakyat kecil yang pekerjaan mereka adalah petani,
perajin, tukang dan pedagang masih menggunakan teknik dan senjata tempur
tradisional, kali ini dengan dibentuknya PETA, umat Islam memasuki model baru
karena dilatih dengan cara profesional dan dilengkapi dengan alat-alat tempur
modern seperti senapan pucuk, karaben, senapan mesin ringan, senapan mesin
berat, mortar, meriam, truk militer, tank ringan, jeep dan pistol (Kurasawa,
1993).
Menjelang
akhir Perang Dunia II, Jerman dipukul balik Uni Soviet setelah pengepungan
Stalingard. Sedangkan Sekutu berhasil mendaratkan pasukannya di Normandia.
Sementara di Asia Pasifik, Jepang terus dipukul mundur oleh Sekutu yang dimotori
oleh Amerika. Jepang terus mengalami kekalahan dalam perang, dan karena
Indonesia saat itu masih dijajah oleh Jepang, pemerintahan Dai Nippon ingin
agar umat Islam memberi dukungan yang lebih besar untuk membantu mereka dalam
peperangan. Mula-mula Jepang meminta agar pemuda-pemuda Muslim dimasukkan ke
dalam satuan Heiho, namun usulan itu ditolak oleh Kiai Hasyim Asyari yang saat
itu menjadi wakil ketua Masyumi. Sebaliknya Kiai Hasyim Asyari memberi usulan
agar kalangan muda santri dididik dan dan dilatih ilmu kemiliteran untuk
tujuhan pertahanan dalam negeri. Jepang dengan sigap menanggapi usulan itu
dengan membentuk barisan pertahanan perang yang dinamakan Kaikyo Seinen
Teishintai yang bermakna Tentara Allah atau Hisbullah. (Anderson, 1972).
Meskipun Hisbullah dibentuk di Jakarta, tetapi penyebaran informasinya sangat cepat sehingga merambah ke pesantren-pesantren Jawa dan Madura. Sebab salah satu penyebar informasi tersebut adalah KH. Saifuddin Zuhri, sehingga yang mendaftar menjadi relawan Hisbullah adalah santri-santri se-Jawa dan Madura yang mengenyam pendidikan di pesantren-pesantren. Hisbullah melakukan latihan pertama di Cibarusa, Bogor. Latihan itu diikuti 500 orang yang banyak dari anggota itu adalah kiai dari pondok pesantren, seperti: Kiai Mustofa Kamil dan Kiai Mawardi. Latihan ini dilakukan selama 3 bulan dibawah komando perwira-perwira PETA yang kebanyakan dari mereka juga kiai pimpinan pondok pesantren. Kemudian dari pendidikan yang diperoleh lewat PETA dan Hisbullah, para kiai dan pemuda Islam di daerahnya masing-masing membentuk satuan-satuan paramiliter lasykar Islam Hisbullah dan Sabilillah. Yang kita tahu, barisan-barisan ini kelak akan sangat membantu sekali untuk merebut kemerdakaan kita dari Belanda yang kembali menginjakkan kaki di Indonesia.
JEPANG KALAH, BELANDA MASUK, UMAT ISLAM BERGERAK
Jepang
benar-benar kalah dalam perang. Etos semangat tempur mereka tidak bisa membuat
kekuasaan mereka berjaya dalam waktu lama. Sebab kota Hiroshima dan Nagasaki di
bom atom oleh pesawat Sekutu. Yang mana itu membuat kerugian yang sangat besar
bagi mereka. Belum lagi pulau-pulau terdekat dari mereka mulai berjatuhan.
Seperti peristiwa jatuhnya Iwojima, Okinawa, dan Saipan. Akhirnya pada tanggal
15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Dan dua hari
setelahnya, tepat 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya di
Jakarta.
Untuk
mengantisipasi kemungkinan yang tidak bisa ditebak, Indonesia membentuk barisan
pertahanan yang kemudian dinamakan BKR, TKR, dan Badan Perjuangan Bersenjata,
disusul kelompok paramiliter seperti Hisbullah dan Sabilillah, kemudian
didukung oleh sisa-sisa kelompok bersenjata bikinan Jepang. Divisi-divisi ini
tersebar di pelosok Indonesia dan mendapat senjata hasil rampasan tentara Jepang.
Tetapi
pada tanggal 8 September 1945, NICA dan Sekutu datang ke Indonesia dengan dalih
membersihkan tentara Jepang yang tersisa. Ikut juga dalam rombongan itu tentara
Kerajaan Belanda. Mengetahui maksud jahat Sekutu, seluruh pemuda nasionalis
Indonesia berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan mereka yang baru seumur
jagung di garis depan. Mereka melawan keras pendaratan Sekutu di Indonesia.
Sedangkan dari sisi kiai dan ulama, perlawanan mereka terhadap pendaratan
Sekutu juga sangat mencolok. Bahkan, Kiai Hasyim Asyari membuat maklumat perang
melawan Sekutu yang dinamakan Resolusi Jihad. Resolusi Jihad itu berisikan
bahwa membela Tanah Air itu hukumnya Fardhu Ain. Selain itu juga disebutkan
bahwa umat Islam yang berada dalam radius 94 kilometer dari pusat pertempuran
wajib ikut berperang melawan Belanda. Kemudian hal yang paling diingat dari
peristiwa itu adalah pecahnya perang 10 November di Surabaya. Dimana para
simpatisan perang dan santri datang berbondong-bondong untuk melawan Sekutu.
Mereka datang bergelombang dari berbagai kota, ada yang menaiki kereta api, dan
ada juga yang datang berjalan kaki. Tujuan mereka adalah mengusir pendaratan
Sekutu di Surabaya dan mempertahankan kemerdekaan mereka, walaupun dengan harga
nyawa sekalipun. Ada yang bnnchberperang dengan senjata api, senjata tajam,
bahkan bambu runcing. Di daerah Parakan, Temanggung, seorang ulama bernama Kiai
Subki ramai-ramai memberi doa asma kepada para santri dan pejuang yang akan
bertempur melawan penjajah menggunakan bambu runcing. Bambu runcing itu
diberkati doa asma untuk ijazah kekebalan dan keselamatan lain. Ratusan ribu
pejuang dan tumpah di jalan-jalan. Sedangkan barisan santri yang datang lewat
paramiliter Hisbullah dan Sabillilah, bertempur tidak takut mati. Sebab mereka
mengikuti keterangan bahwa berjuang untuk mempertahankan negaranya akan
dihukumi mati syahid. Satu catatan dari kalangan ahli sejarah adalah saat
ketika para santri berani berlari mendekati tank dan panser-panser milik
Sekutu. Kemudian para santri-santri ini mendekatkan diri ke arah lapis baja itu
dan mendekam granat di tangan mereka. Ketika posisi sudah dekat, mereka
menubrukkan badan dan granat itu ke badan lapis baja, sehingga kendaraan itu
meledak disusul para santri yang terlibat dalam aksi heroik itu. Lalu Sekutu
bertanya-tanya, apakah yang menubrukkan badan itu adalah tentara Jepang? Sebab
mereka tahu etos semangat tempur tentara Jepang yang rela mati daripada
menyerah. Namun mereka kaget karena tentara Jepang tidak ikut ambil bagian
dalam aksi tersebut, melainkan para santri-santri dari barisan paramiliter
bentukan Hisbullah dan Sabillillah yang rela berperang mati-matian untuk
mempertahankan kemerdekaan, dan menanti ganjaran syahid seperti yang dijanjikan
Allah.
Perjuangan
dalam mempertahankan kemerdekaan tidak putus sampai di sana saja. Perjuangan
terus berkobar dan menyala. Merdeka adalah harga mati. Para pejuang dan
santri-santri terus melawan penjajah sampai pecahnya peristiwa Agresi Militer
ke 1 dan II yang menyebabkan banyak korban jiwa itu. Namun meskipun begitu,
moril mereka ketika berperang tetap tidak jatuh. Para pejuang dan tentara
nasional terus melawan balik lewat cara gerilya atau serangan umum seperti yang
kita baca dari buku sejarah-sejarah. Indonesia lahir dari perlawanan semacam
itu.
Dan
atas dasar perjuangan hebat para kiai dan santri inilah, Presiden Joko Widodo
pada tanggal 22 Oktober 2015 menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri
Nasional. Dimaksudkan untuk mengingat dan meneladani semangat jihad para santri
merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang digelorakan para ulama.
untuk para santri,
kiai, dan para pejuang yang gugur mempertahankan kemerdekaan: Al Fatihah.
Kepustakaan:
*Sunyoto,
Agus., Fatwa dan Resolusi Jihad; Sejarah Perang Rakyat Semesta di Surabaya, 10
November 1945. Jakarta, Lesbumi PBNU, 2018.
*Anderson,
Benedict R.O’G., Some Aspect of Indonesian Politics under the Japanese
Occupation 1944-1945, Ithaca. Cornell Modern Indonesia Project, 1961.
*Asmadi,
Pelajar Pejuang, Jakarta: Sinar Harapan, 1985.
*Benda,
Harry J., James K. Irikura, Koichi Kishi, et al., eds., Japanese military
administration Indonesia: Selected Documents., New Heaven: Yale University
Southeast Asia Studies, 1965.
*Buchori,
Purnawan., Perjalanan Sang Pendekar, Tulungangung: Penerbit Pondok PETA, 2016.
*Carey,
Peter B.R, Babad Dipanegara; An account of the out break of the Java War
(1825-1830). The Surakarta version of the Babad Dipanegara wirth translation
into English and Indonesian Malay, Kuala Lumpur: The Malayan Branch of the Royal
Asiatic Society, 1981.
*Dimyati,
Mohammad, Sedjarah Perjuangan Indonesia, Jakarta: Widjaja, 1951.
*Frederick,
William H. Vision and Heat: The Making of the Indonesia Revolution, Ohio: Ohio
University Press, 1988.
*Hidayat,
Sjarief., Riwajat Singkat Perdjuangan KH. Zainal Mustafa, Tasikmalaja:
Soetarco, 1961.
*Ricklefs,
MC., A History of Modern Indonesia since c. 1200. (2008)
*Kurasawa,
Aiko., Mobilisasi dan Kontrol, Studi tentang Perubahan di Pedesaan Jawa
1942-1945. Jakarta: Yayasan Kartisarana—PT Gramedia, 1993.
*Notosusanto,
Nugroho., Poesponegoro, Marwati Djoened. Sejarah Nasional Indonesia; Zaman
Jepang dan Zaman Republik Indonesia, 1942-1998, Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
*Wartheim,
Willem. F. Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change, (edisi
ke-2), Bandung: Sumur Bandung, 1956.
PENULIS:
AGIL FATUROHMAN
Comments
Post a Comment