PERAN SANTRI MEREBUT KEMERDEKAAN

Jihad Santri Melawan Penjajah


PENDAHULUAN

Mula-mula, rombongan kapal dagang Portugis yang mencari rempah-rempah berhenti di bandar pelabuhan besar di Aceh, mereka menguasai dan bermaksud memonopoli perdagangan, itu terjadi antara tahun 1511 Masehi dibawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. Portugis juga melarang pelaut Aceh berlayar dan berdagang di sekitaran Laut Merah, belakangan mereka juga menangkapi kapal-kapal Aceh di lautan, dan hal itu memicu kemarahan rakyat Aceh, sehingga terjadilah perlawanan. Kongsi dagang yang baik dengan wilayah lain membuat Aceh memiliki banyak bala, mereka melengkapi kapal-kapal jung dengan meriam, kemudian mendatangkan bala tentara dan teknisi senjata dari Turki, dan bantuan persenjataan dari Kalikut dan Jepara. Tahun 1629, serangan dari pasukan Sultan Iskandar Muda berhasil membuat Portugis kepayahan, namun peperangan itu tidak berpangkal. Dan Portugis mengalami kemunduran wilayah kekuasaan setelah VOC yang ditukangi orang-orang Belanda datang ke sana. Dan perlawanan rakyat Aceh terus berlanjut selama berabad-abad kemudian.

            Portugis gagal memonopoli perdagangan, mereka juga kesulitan meletakkan misi Gold, Glory, dan Gospel-nya. Portugis terkatung-katung di Aceh, dan terusir ketika akan menguasai Jawa. Tentang kekalahan Portugis di Jawa itu, pada tahun 1527, Fatahillah atau yang biasa dikenal lidah Jawa menjadi Falatehan, seorang panglima pasukan Cirebon yang bersekutu dengan Demak, melawan kapal-kapal Portugis yang akan berlabuh di Sunda Kelapa. Portugis berhasil dipukul mundur setelah perlawanan sengit dari pasukan Fatahillah membuat banyak pasukan mereka tewas dan terluka, atas kemenangan itu, Fatahillah kemudian mengganti nama kota Sunda Kepala menjadi Jayakarta, sebagai wujud kemenangan secara simbolis.

Masih di abad yang sama, kapal-kapal dagang Belanda yang sebelumnya hanya bertugas sebagai pengecer rempah-rempah mulai masuk ke Nusantara. Mereka membawa empat kapal dengan 249 awak dan 64 pucuk meriam. Ekspedisi itu dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Lalu pada Juni 1596, kapal-kapal itu sampai ke Banten, sebuah pelabuhan lada terbesar di Jawa Barat. Tetapi Cornelis de Houtman banyak mengalami penolakan dan perlawanan karena sikap mereka yang sombong dan licik, selama dua tahun berlayar, mereka hanya pulang dengan tiga kapal dan 89 awak yang selamat. Sebab selain dilawan penduduk lokal, para penjelajah Belanda itu terkendala cuaca dan wabah penyakit. Meskipun belum menemukan pusat rempah-rempah di Timur Nusantara, ekspedisi yang dipimpin Cornelis de Houtman itu telah membuka jalur pelayaran bagi penjelajah Belanda untuk berikutnya.

MC Ricklefs menulis. ‘’Kini mulailah zaman yang dikenal sebagai zaman pelayaran-pelayaran liar atau tidak teratur (wilde vaart), yaitu ketika perusahaan-perusahaan ekspedisi Belanda saling bersaing berjuang keras untuk memperoleh bagian dari rempah-rempah Indonesia.’’

Tahun 1598, sebanyak 22 kapal milik lima perusahaan Belanda yang berbeda berlayar ke Nusantara. Kemudian armada pimpinan Jacob van Neck menemukan ‘Kepulauan Rempah-rempah’ di Maluku pada Maret 1599. Ketika kembali ke Belanda, mereka mengeruk keuntungan sebanyak 400 persen. Banyaknya keuntungan itu membuat Belanda membentuk Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1602, yang menyatukan para pengusaha Belanda seluruhnya. VOC lalu mengusir Portugis di Maluku, menduduki bandar-bandar ramai di Sumatera, dan menduduki pelabuhan besar di sepanjang Jawa. Dari sinilah, perlawanan rakyat mulai dibentuk.

PERLAWANAN RAKYAT

VOC mengendalikan monopoli perdagangan dalam waktu yang sangat lama. Pengendalian itu memberikan dampak buruk untuk kebutuhan lainnya bagi rakyat Nusantara: VOC bersentuhan dengan rakyat, mulai ikut campur urusan rakyat, membuat rakyat marah dan melawan, lalu mereka melakukan penyelesaian masalah dengan cara semena-mena. VOC juga mendatangkan banyak tentara dari Eropa, sebagian besar merupakan orang-orang asli dari Belanda. Sedang sebagian lain merupakan tentara bayaran dari Perancis, Belgia, dan Jerman. Dalam sejarahnya, mereka banyak terlibat peperangan dengan raja-raja Nusantara. Dan banyak sekali dari raja-raja itu adalah pemeluk Islam, sebabnya mereka melihat ada kesalahan VOC dalam menguasai perdagangan, dan melihat langsung dampak buruk ketika ekonomi mereka dikuasai orang-orang kulit putih. Maka terjadilah perlawanan dari raja-raja Nusantara. Di antara banyak perlawanan itu, beberapa adalah:

1. Perang Maluku.

Ahmad Lussy Pattimura tidak suka melihat politik Belanda yang membikin rakyat Maluku sengsara. Sebab Belanda memberlakukan kerja wajib dan penyerahan hasil bumi namun pembayaran tidak lancar, belum lagi pengerahan pemuda Maluku menjadi prajurit Belanda, lalu pemindahan penduduk secara paksa, dan pelayaran Hongi yang merugikan. Selama dua abad mereka merasakan sengsara, dan peperangan diawali Kapitan Pattimura yang menyerahkan daftar keluhan kepada Residen Van den Bergh, daftar itu berisi tindakan semena-mena pemerintah Kolonial yang menyengsarakan rakyat. Tapi daftar itu tidak ditanggapi secara serius. Kemudian setelah mendapat dukungan dari Raja-raja Patih, para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat, Kapitan Pattimura menyerbu Benteng Duurstede di Saparua. Belanda yang bertahan terdesak dan mengalami kekalahan telak. Orang Maluku berhasil menduduki Benteng Duurstude. Namun Belanda tidak kehabisan akal, lewat politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus yang dilakukan Belanda, benteng itu kembali direbut pada awal Agustus 1817. Atas jatuhnya benteng itu, Kapitan Pattimura dan pengikutnya ditangkap Belanda, kemudian dihukum gantung di Benteng Duurstude pada 16 Desember tahun 1817. Sesudah itu, perlawanan rakyat Maluku menjadi padam dan hilang lentera.

 2. Perang Rakyat Bone.

Setelah Kesultanan Gowa jatuh, Kesultanan Bone menjadi kesultanan terkuat di Sulawesi. Wilayahnya didukung Kesultanan Luwu, Soppeng, dan negara-negara kecil yang bersekutu dengan Bone. Belanda kembali setelah mereka memenangkan Convention of London yang memuat dikembalikannya wilayah koloni Belanda yang sebelumnya dikuasai oleh Inggris. Kembalinya Belanda membuat peperangan pecah di Jawa, Kalimantan, Maluku, dan juga Sulawesi. Tahun 1824, Gubernur Jenderal Baron van der Capellen mengadakan lawatan ke Sulawesi dan Maluku, rombongan mereka disambut baik oleh penguasa-penguasa wilayah, termasuk Ratu Bone, kecuali penguasa Suppa dan Tanete, yang waktu itu ikut kekuasaan Bone. Menangkap gelagat kurang baik, Gubernur Jenderal Baron van der Capellen mengirim kembali ekspedisi darat dan laut yang membawa 500 serdadu dan empat meriam, dua howitzer, dan 600 pasukan pembantu pribumi dengan tujuan menghukum Bone. Pasukan itu terus dilawan oleh rakyat Tanete, setelahnya ternyata ratu mereka, Aru Datu Sultanah Salima Rajiatuddin berhasil digulingkan dan menyerahkan diri. Ratu melarikan diri ke pedalaman dan Belanda berhasil membereskan perlawanan rakyat Tanete dengan baik. Kemudian Belanda menyerang Suppa, tetapi Suppa tangguh dan kuat. Banyak prajurit Belanda tewas dan luka-luka, kemudian Belanda mundur untuk merencanakan peperangan di waktu lain. Kemudian mereka datang lagi dengan 25.000 tentara dengan tujuan serangan besar-besaran. Mereka berhasil menaklukkan Pangkajene, menduduki Tanete, merebut benteng di Maros dan mengalahkan perlawanan orang Bone. Tahun 1825 pasukan mereka menuju Makassar, kemudian bergerak menuju Suppa dan melihat sultannya menyerah dan dilucuti. Selanjutnya Perang Bone I dinyatakan selesai.

3. Perang Jawa.

Menurut Carey, kembalinya Belanda setelah Convention of London tahun 1814 dan disusul Treaty of London pada tahun 1824 itu menimbulkan banyak ketidakcocokan, rasa kecewa dan marah timbul dari kalangan bangsawan dan rakyat. Pada dasarnya Jawa banyak merasakan rasa sengsara setelah Belanda dengan liciknya menerbitkan sistem tanam paksa dan sekelompok peraturan tidak masuk akal. Lantas untuk menyikapi ini, Pangeran Diponegoro melakukan langkah antisipatif, mula-mula ia membebaskan para petani penggarap dari kewajiban membayar uang sewa dan uang sewa yang seharusnya dikirim itu dibelikan senjata. Itu memberi kemungkinan bahwa Pangeran Diponegoro sudah mempersiapkan jalan lain untuk berperang. Melihat derita rakyat yang berkepanjangan, Pangeran Diponegoro ingin memutus semua itu dengan cara berperang. Pangeran Diponegoro kemudian membentuk sepasukan dari kalangan santri, kiai, petinggi, orang-orang tarekat, bahkan banyak di antara pasukan itu adalah pemabuk dan perampok; itu memberi dampak dan ciri bahwa Belanda telah memberi pengaruh buruk kepada seluruh golongan pribumi.

Perang Jawa dimulai antara 19 Juli 1825 dan berakhir pada 28 Maret 1830. Pemerintah Belanda mengalami kerugian yang luar biasa, mereka banyak memberikan anggaran gulden untuk peperangan yang berkecamuk. Apalagi di tahun yang sama, di Sumatera meletus Perang Padri. Menurut catatan, sekitar 12.749 tentara meninggal di rumah sakit. Sedangkan jumlah yang hilang atau tewas mencapai 15.000 orang, lebih dari setengah, atau sekitar 8.000, adalah orang Eropa. Meskipun begitu diperkirakan 200.000 orang Jawa mati terbunuh. Sedangkan 200.000 sisa-sisa pasukan yang selamat berpencar ke daerah lain untuk melanjutkan perlawanan terhadap Belanda. Peperangan itu didukung ulama dari beberapa pesantren dan penganut tarekat di Jawa dan pulau-pulau sekitarnya. Pada akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap lewat siasat licik Jenderal de Kock, kemudian Pangeran Diponegoro dibuang ke Manado. Dan Perang Jawa dinyatakan selesai.

SITUASI PERANG DUNIA KE II DAN POSISI INDONESIA

Tahun 1939 Jerman dibawah kendali Hitler menginvasi negara dekatnya, Polandia. Kemudian invasi itu disusul serangkaian pernyataan perang terhadap Jerman oleh Inggris dan Perancis. Tetapi Nazi dibawah kendali Hitler tidak terbendung dan menduduki negara-negara sekitar seperti Belanda, Belgia, Perancis, dan belakangan melakukan operasi besar-besaran menuju timur Eropa melawan Uni Soviet. Sementara anggota Poros selain Jerman dan Italia, yaitu Jepang, bertempur di teater Pasifik. Serbuan Poros ini memaksa banyak negara mengantisipasi dengan mengirimkan tentara dan pasokan makanan agar perang cepat selesai dan Sekutu berada di pihak yang menang. Namun keadaan berbalik buruk setelah Inggris menarik pasukannya di Dunkirk, Italia menyerbu Perancis, dan dua belas hari kemudian Perancis menyerah dan daerahnya dibagi menjadi dua kelompok. Lalu pada 7 Desember 1941, Jepang melakukan serbuan terhadap pangkalan perang Amerika di Pearl Harbor, sebab Jepang yakin jika Amerika akan ikut campur terhadap kepentingan perang Jepang di area Pasifik.

Jepang semakin getol melakukan serbuan, setelah sebelumnya menduduki bagian utara Tiongkok dan menduduki Korea, mereka juga menduduki kepulauan di Oceania dengan dalih alasan pertahanan strategis. Penyerbuan Jepang berlanjut menuju Indocina, sebab mereka ingin menguasai ladang minyak dan sumber daya mineral yang tidak mereka temukan di Jepang. Dan di Indocina, Jepang berhasil mengusir Inggris, Belanda, Amerika, dan Perancis. Atas dasar itu, Sekutu mengambil langkah tegas dengan cara membekukan aset-aset milik Jepang. Tapi Jepang tidak ambil peduli oleh keputusan itu, mereka menciptakan perimeter defensif besar yang membentang sampai Pasifik Tengah, dan dengan cara itu seluruh keperluan dalam ekspoitasi sumber daya bisa berjalan lancar. Mula-mula setelah penyerangan singkat di Pearl Harbor, Jepang melakukan pendaratan di Thailand dan Malaya, bertempur di Hong Kong, sebelum kemudian menguasai Filipina, Singapura, Burma, dan Hindia Timur Belanda. Sekutu mengalami banyak kerugian atas serangan cepat itu, di Singapura saja, Inggris kehilangan 80.000 tentara karena ditawan. Jepang ada dimana-mana, mereka berperang di Laut Tiongkok Selatan, Samudera Hindia, dan Laut Jawa, lalu berhasil memenangkan pertempuran dengan mudah.

Sementara kedatangan Jepang ke Hindia Belanda pertama kali adalah melalui Ambon dan menguasai seluruh Maluku pada Januari tahun 1942. Lalu Jepang muncul di Tarakan dan merebut pangkalan minyak di sana.  Di bulan yang sama, Jepang berhasil memasuki wilayah Sumatera, kemudian di bulan Februari, Jepang mulai masuk Pulau Jawa. Setelah sebelumnya berhasil menguasai daerah luar Jawa, pemerintahan Jepang yang waktu itu komandonya dipegang oleh Angkatan Laut memusatkan perhatian agar Jawa dijadikan sebagai pusat pemerintahan.

Sebenarnya blok Sekutu mulai mempersiapkan langkah untuk mempertahankan diri, mereka membentuk Komando Gabungan Tentara Serikat yang disebut ABDACOM (American British Dutch Australian Command) yang bermarkas di Lembang. Tetapi satuan ini tidak dapat menyelamatkan Hindia Belanda dari kekalahan. Pertempuran di Laut Jawa berhasil dimenangkan Jepang setelah mereka memukul pasukan yang dipimpin Laksamana Karel Doorman. Sisa-sisa pasukan yang selamat kemudian melarikan diri ke Australia.

Pendaratan balatentara Jepang di Jawa pada 1 Maret 1942 terjadi di tiga tempat. Pendaratan di Banten dipimpin Jenderal Imamura. Pendaratan di Indramayu dipimpin Kolonel Tonishori, pendaratan di Bojonegoro dikoordinasi Mayjen Tsuchihashi. Mereka menyerbu pusat kekuatan Belanda, membunuh dan menawan mereka yang menyerah. Tanggal 5 Maret Batavia jatuh kepada Jepang, mereka lalu bergerak ke selatan untuk menguasai Buitenzorg (Bogor) dan Bandung.

Lalu pada tanggal 8 Maret 1942, Jenderal Ter Poorten yang mewakili Belanda di pihak Sekutu menandatangai penyerahan tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati, Subang. Dan hal itu menandai berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia secara keseluruhan. Atas kemenangan Jepang itu, rakyat Indonesia menyambut balatentara Jepang dengan sorak dan gembira. Rakyat menganggap Jepang telah membebaskan mereka dari penindasan Eropa kulit putih. Euforia kegembiraan itu membuat kerusuhan yang meledak di Tangerang-Jakarta-Bogor yang disebut penggedoran, yaitu aksi anarkis penduduk menyerang kantor-kantor, rumah-rumah, toko-toko, gudang milik orang asing sehingga jatuh 6.000 korban dari pihak asing. Dan Jepang mengambil tindakan tegas atas aksi tersebut (Frederick, 1988).

Untuk meredam kegiatan yang bisa menimbulkan langkah-langkah negatif, Jepang justru melarang semua penduduk untuk mengadakan kegiatan rapat atau serangkaian acara yang berbau politik. Jepang juga membubarkan semua organisasi politik, diikuti dengan diwajibkannya mengibarkan bendera Hinomaru dan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo. Kemudian tanggal 1 April 1942 dikeluarkan aturan yang menyesuaikan waktu Indonesia dengan waktu Tokyo yang berbeda 90 menit lebih awal. Semua kegiatan jadwal seperti perjalanan kereta api, jam kerja kantor, pabrik, dan sekolah harus mengikuti waktu Tokyo. Jepang juga melarang penduduk untuk memiliki dan mengendarai kendaraan bermotor. Dan seluruh kendaraan itu harus diserahkan kepada pihak Jepang. Selain itu, penduduk hanya boleh menyebut negeri Jepang dengan Dai Nippon, dan menyebut bangsa Jepang dengan Nipponjin. Penggunaan sebutan Jepang, Jepun, Japan, dan Jepon sangat dilarang keras (Dimyati, 1951).

Kemudian satu peraturan Jepang yang paling ditentang oleh kalangan kiai adalah prosesi penyembahan kepada Kaisar Tenno Heika yang mereka yakini sebagai keturunan Dewa Matahari, dan oleh mereka ritual itu disebut sekerei. Prosesi ini dilakukan pada jam 7 pagi saat matahari bulat sempurna selama 15 menit. Dilakukan secara bersama-sama dan ada seorang pemimpin sebagai pemberi aba-aba. Ini jelas bertentangan dengan akidah agama Islam. Para kiai dan ulama menentang keras penyembahan tersebut, Jepang yang merasa tersinggung kemudian menangkapi kiai-kiai yang menolak menyembah matahari.

Kiai Hasyim Asyari dijemput polisi rahasia Kempetai dan dimasukkan ke dalam penjara untuk disiksa. Sedangkan 30 kiai yang berasal dari Tulungagung, Trenggalek, Kediri, Nganjuk, dan Blitar ditangkap dan dibawa ke markas Kempetai di Malang, mereka dimasukkan ke dalam penjara selama 9 bulan dan disiksa tanpa mengenal waktu (Purnawan Buchori, 2016).

Lain kejadian, Jepang mulai membentuk serangkaian propaganda untuk membantu mereka dalam memenangkan perang Asia Pasifik. Mula-mula yang dilakukan oleh pemerintahan Dai Nippon adalah membentuk gerakan Tiga A. Yaitu: 1. Jepang pemimpin Asia; 2. Jepang cahaya Asia; 3. Jepang pelindung Asia, yang harus didukung saudara muda, yaitu Indonesia. Mereka membentuk Putera (Pusat Tenaga Rakyat), untuk melengkapi propaganda mereka. Pihak Jepang juga menggunakan pemuda nasional sebagai penggerak, oleh mereka kelompok ini dinamakan ‘Empat Serangkai’: mereka adalah, Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan KH. Mas Mansyur. Melalui ini Soekarno menggalang para pemuda untuk membantu kepentingan Jepang dalam perang. Jepang juga membentuk Seinendan dan Keibodan. Seinendan beranggotakan 5.000.000 pemuda nasionalis, dan Keibodan beranggotakan 500.000 orang yang umumnya lemah semangat nasionalismenya (Asmadi, 1985).

Sebagai konsekuensi atas pembentukan barisan tersebut, para pemuda ini kemudian dikirim untuk menjadi tenaga dalam membangun kubu pertahanan, pangkalan militer, lapangan terbang, gudang persenjataan, meriam pantai, jalur transportasi, terowongan bawah tanah, dan tetek bengek atas nama kepentingan perang. Jepang juga menjalankan program kerja paksa yang mereka sebut romusha. Para pekerja paksa ini umumnya adalah para petani miskin di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah yang dipekerjakan untuk proyek-proyek militer. Bahkan ada banyak dari romusha dikirim Jepang ke Sumatera, lebih jauh ke Burma, Thailand, dan bagian timur Indonesia untuk kebutuhan militer. Para romusha ini dibayar sangat murah dan diperlakukan lebih buruk dari budak belian, sehingga setiap satu proyek pembangunan nyaris terjadi setiap hari para romusha mati karena kelaparan, penyakit, dan siksaan di luar batas kemanusiaan. Menurut W.F. Wertheim, dari hampir 300.000 orang romusha yang dikirim ke seberang laut, hanya sekitar 70.000 yang kembali lagi sesudah perang.

Selain itu, Jepang juga semena-mena merampas barang-barang penduduk, mereka menyita dan mengambil paksa hak-hak milik petani, buruh, pedagang kecil, pengangguran, sehingga untuk pertama kali dalam satu negeri yang berkelimpahan sandang-pangan, ditemukan banyak sekali orang-orang kelaparan dan orang mati yang berserakan di sepanjang jalan. Karena beras sudah tidak tersedia di rumah, orang kemudian terpaksa mengolah tepung kanji, katul sekam, jantung dan bonggol pisang, bekicot, daun beluntas, daun kenikir, ubi, kreco dan lain-lain. Sedangkan pakaian mereka terbuat dari goni, bagor, dan karet olahan. Untuk penduduk yang dianggap Jepang ekonominya mampu, mereka dipaksa Jepang agar menyumbangkan perhiasan emas, permata, jam dinding, arloji, bahkan pagar besi yang katanya dipentingkan untuk memenangkan peperangan Asia Timur Raya.

Atas dasar kekejaman itu, para penduduk mulai menyatakan sikap antipati terhadap kependudukan Jepang di Indonesia. Mereka kemudian mulai melancarkan pemberontakan secara bergelombang. Menurut catatan, orang Aceh melakukan perlawanan terhadap Jepang yang dipimpin pimpinan agama mereka, Tengku Abdul Jalil. Selain itu di Sukamanah, Tasikmalaya, KH. Zainal Mustafa juga melakukan perlawanan kepada Jepang. KH. Zainal Mustafa tidak tahan lagi melihat kekejaman Jepang yang membuat rakyat kecil sengsara. Peristiwa pemberontakan itu pecah pada 25 Februari 1944 setelah salat Jumat. Dalam pertempuran itu, banyak tentara Jepang yang terluka dan tewas. Namun juga banyak pihak rakyat yang gugur setelah melakukan perlawanan sengit terhadap tentara Jepang. KH. Zainal Mustafa selanjutnya berhasil ditangkap dan dimasukkan ke tahanan. Pesantren Sukamanah dibakar habis. Kemudian KH. Zainal Mustafa dibawa ke Ancol untuk dihukum penggal.

Belum dingin peristiwa pemberontakan itu, di Kalimantan Barat pecah perlawanan rakyat terhadap Jepang. Dipimpin Pang Suma, pemimpin suku Dayak yang besar pengaruhnya di daerah Tayan dan Meliau, ia melakukan perlawanan meskipun pada akhirnya tewas dibunuh. Sedangkan bulan Juli 1944 di Indramayu, para rakyat melakukan pemberontakan melawan Jepang, diawali oleh rakyat Lohbener dan Sindang yang tidak tahan lagi melihat perlakuan Jepang yang kejam dan biadab (Hidajat, 1961).

Perlawanan terberat yang dihadapi Jepang adalah ketika tentara sukarela PETA Daidan II Blitar melakukan pemberontakan pada 14 Februari 1945. Dipimpin Shodanco Supriadi, mereka menyerang markas Jepang tepat pukul 03.00 dini hari. Pemberontakan itu adalah tamparan keras bagi Jepang.

JEPANG MERANGKUL ISLAM UNTUK KAMPANYE KEMENANGAN

Harry J. Benda dalam Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang (1985), menegaskan bahwa sejak pertengahan tahun 1920-an dan selanjutnya, lembaga yang berbakti kepada studi Islam dan majalah-majalah yang membahas Islam mulai muncul di Jepang. Itu ditegaskan lewat penguasa Jepang yang meningkatkan jumlah mahasiswa Islam dan guru-guru Islam. Bahkan untuk pertama kalinya, masjid bisa berdiri di wilayah Kobe. Tiga tahun kemudian menyusul di kota Tokyo.

Dengan pemahaman yang luas tentang Islam, terutama Islam di Indonesia di tengah tekanan perlawanan Sekutu di pertempuran Pasifik, harapan Dai Nippon kemudian diarahkan kepada kekuatan pribumi muslim yang diharapkan bisa membantu Jepang dalam berperang. Gagasan itu sudah dirumuskan oleh pimpinan tentara Jepang yang beragama Islam seperti Mohammad Abdul Muniam Inada, Abdul Hamid Ono, dan Lettu Yunagawa. Namun usulan itu masih memerlukan dukungan riil dari golongan kiai dan ulama. Pertama dalam dilanjutkannya gagasan itu adalah mengirim surat kabar Asia Raya, tertanggal 13 September 1943, surat kabar itu mengumumkan usulan sepuluh ulama (KH. Mas Mansyur, KH. Adnan, Dr. H. Karim Amrullah, H. Mansur, H. Cholid, KH. Abdul Majid, H. Jacob, KH. Djunaedi, U. Muhtar, dan H. Moch. Sadri), yang menuntut dibentuknya tentara sukarela bukan wajib militer tetapi tentara pembela Pulau Jawa yang terdiri dari pemuda-pemuda Islam. Setelah Jepang berhasil menciptakan opini yang baik dan para ulama menyetujui pembentukan tentara sukarela yang terlatih baik, maka pada 3 Oktober 1943 Saiko Sikikan mengeluarkan Osamu Osirei No. 44 tentang pembentukan Boei Gyu Gun Kanbu Rensetai (Tentara Sukarela Pembela Tanah Air) yang disingkat PETA. Terdiri dari 69 batalyon di Jawa dan Bali. Pendaftaran mulai dibuka pada 7 Oktober 1943 menurut wilayah karesidenan. Ketentuan menjadi anggota PETA adalah:

1. Tentara Sukarela PETA adalah warganegara pribumi asli.

2. Anggota Tentara Sukarela PETA dilatih oleh Jepang.

3. Tentara Sukarela PETA bukan milik organisasi mana pun, langsung di bawah Panglima Tentara Jepang.

4. Tentara Sukarela PETA, adalah tentara teritorial yang berkewajiban mempertahankan wilayahnya (Syuu).

5. Tentara Sukarela PETA, siap melawan Sekutu. Para Daidancho dipilih dari kalangan orang yang bergerak dibidang pendidikan, pamong praja, alim ulama, guru agama, guru.

Kemudian struktur organisasi PETA mengikuti ketentuan dalam kemiliteran modern yang menggunakan Bahasa Jepang, dimana tentara PETA yang berjumlah 38.000 dan dibagi 69 batalyon, yang masing-masing batalyon dipimpin mayor, masing-masing batalyon beranggota 535 orang, yang terbagi atas 4 kompi dan dipimpin seorang kapten. Tiap-tiap kompi terdiri dari 3 pleton yang dipimpin letnan dimana masing-masing pleton terdiri dari 132 orang. Tiap-tiap pleton terdiri dari 4 regu yang dipimpin sersan, dimana tiap regu beranggota 11 prajurit.

Ternyata dari 69 orang perwira yang berpangkat mayor, cukup banyak dari mereka adalah kiai dan mereka-mereka yang mendapat pendidikan di pesantren. Maka surat kabar Asia Raya 22 Januari 1944 mempertanyakan sebutan yang pas untuk para komandan batalyon itu. ‘’Apa para kiai cukup disebut daidancho atau ada tambahan daidancho kiai?’’ Fakta tentang banyaknya kiai di kesatuan PETA dapat dikata sebagai keniscayaan terkait dengan kebijakan politik Jepang sejak tahun 1933 ingin memanfaatkan kekuatan umat Islam untuk mendukung ambisi politik Jepang.                  

PEMBENTUKAN LASYKAR HISBULLAH

Pembentukan Tentara Sukarela PETA membuka babak baru dalam bidang kemiliteran modern bagi para pemuda muslim. Jika sebelumnya perlawanan terhadap Belanda yang dimotori pemuka agama dan didukung oleh rakyat kecil yang pekerjaan mereka adalah petani, perajin, tukang dan pedagang masih menggunakan teknik dan senjata tempur tradisional, kali ini dengan dibentuknya PETA, umat Islam memasuki model baru karena dilatih dengan cara profesional dan dilengkapi dengan alat-alat tempur modern seperti senapan pucuk, karaben, senapan mesin ringan, senapan mesin berat, mortar, meriam, truk militer, tank ringan, jeep dan pistol (Kurasawa, 1993).

Menjelang akhir Perang Dunia II, Jerman dipukul balik Uni Soviet setelah pengepungan Stalingard. Sedangkan Sekutu berhasil mendaratkan pasukannya di Normandia. Sementara di Asia Pasifik, Jepang terus dipukul mundur oleh Sekutu yang dimotori oleh Amerika. Jepang terus mengalami kekalahan dalam perang, dan karena Indonesia saat itu masih dijajah oleh Jepang, pemerintahan Dai Nippon ingin agar umat Islam memberi dukungan yang lebih besar untuk membantu mereka dalam peperangan. Mula-mula Jepang meminta agar pemuda-pemuda Muslim dimasukkan ke dalam satuan Heiho, namun usulan itu ditolak oleh Kiai Hasyim Asyari yang saat itu menjadi wakil ketua Masyumi. Sebaliknya Kiai Hasyim Asyari memberi usulan agar kalangan muda santri dididik dan dan dilatih ilmu kemiliteran untuk tujuhan pertahanan dalam negeri. Jepang dengan sigap menanggapi usulan itu dengan membentuk barisan pertahanan perang yang dinamakan Kaikyo Seinen Teishintai yang bermakna Tentara Allah atau Hisbullah. (Anderson, 1972).

Meskipun Hisbullah dibentuk di Jakarta, tetapi penyebaran informasinya sangat cepat sehingga merambah ke pesantren-pesantren Jawa dan Madura. Sebab salah satu penyebar informasi tersebut adalah KH. Saifuddin Zuhri, sehingga yang mendaftar menjadi relawan Hisbullah adalah santri-santri se-Jawa dan Madura yang mengenyam pendidikan di pesantren-pesantren. Hisbullah melakukan latihan pertama di Cibarusa, Bogor. Latihan itu diikuti 500 orang yang banyak dari anggota itu adalah kiai dari pondok pesantren, seperti: Kiai Mustofa Kamil dan Kiai Mawardi. Latihan ini dilakukan selama 3 bulan dibawah komando perwira-perwira PETA yang kebanyakan dari mereka juga kiai pimpinan pondok pesantren. Kemudian dari pendidikan yang diperoleh lewat PETA dan Hisbullah, para kiai dan pemuda Islam di daerahnya masing-masing membentuk satuan-satuan paramiliter lasykar Islam Hisbullah dan Sabilillah. Yang kita tahu, barisan-barisan ini kelak akan sangat membantu sekali untuk merebut kemerdakaan kita dari Belanda yang kembali menginjakkan kaki di Indonesia.

JEPANG KALAH, BELANDA MASUK, UMAT ISLAM BERGERAK

Jepang benar-benar kalah dalam perang. Etos semangat tempur mereka tidak bisa membuat kekuasaan mereka berjaya dalam waktu lama. Sebab kota Hiroshima dan Nagasaki di bom atom oleh pesawat Sekutu. Yang mana itu membuat kerugian yang sangat besar bagi mereka. Belum lagi pulau-pulau terdekat dari mereka mulai berjatuhan. Seperti peristiwa jatuhnya Iwojima, Okinawa, dan Saipan. Akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Dan dua hari setelahnya, tepat 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya di Jakarta.

Untuk mengantisipasi kemungkinan yang tidak bisa ditebak, Indonesia membentuk barisan pertahanan yang kemudian dinamakan BKR, TKR, dan Badan Perjuangan Bersenjata, disusul kelompok paramiliter seperti Hisbullah dan Sabilillah, kemudian didukung oleh sisa-sisa kelompok bersenjata bikinan Jepang. Divisi-divisi ini tersebar di pelosok Indonesia dan mendapat senjata hasil rampasan tentara Jepang.

Tetapi pada tanggal 8 September 1945, NICA dan Sekutu datang ke Indonesia dengan dalih membersihkan tentara Jepang yang tersisa. Ikut juga dalam rombongan itu tentara Kerajaan Belanda. Mengetahui maksud jahat Sekutu, seluruh pemuda nasionalis Indonesia berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan mereka yang baru seumur jagung di garis depan. Mereka melawan keras pendaratan Sekutu di Indonesia. Sedangkan dari sisi kiai dan ulama, perlawanan mereka terhadap pendaratan Sekutu juga sangat mencolok. Bahkan, Kiai Hasyim Asyari membuat maklumat perang melawan Sekutu yang dinamakan Resolusi Jihad. Resolusi Jihad itu berisikan bahwa membela Tanah Air itu hukumnya Fardhu Ain. Selain itu juga disebutkan bahwa umat Islam yang berada dalam radius 94 kilometer dari pusat pertempuran wajib ikut berperang melawan Belanda. Kemudian hal yang paling diingat dari peristiwa itu adalah pecahnya perang 10 November di Surabaya. Dimana para simpatisan perang dan santri datang berbondong-bondong untuk melawan Sekutu. Mereka datang bergelombang dari berbagai kota, ada yang menaiki kereta api, dan ada juga yang datang berjalan kaki. Tujuan mereka adalah mengusir pendaratan Sekutu di Surabaya dan mempertahankan kemerdekaan mereka, walaupun dengan harga nyawa sekalipun. Ada yang bnnchberperang dengan senjata api, senjata tajam, bahkan bambu runcing. Di daerah Parakan, Temanggung, seorang ulama bernama Kiai Subki ramai-ramai memberi doa asma kepada para santri dan pejuang yang akan bertempur melawan penjajah menggunakan bambu runcing. Bambu runcing itu diberkati doa asma untuk ijazah kekebalan dan keselamatan lain. Ratusan ribu pejuang dan tumpah di jalan-jalan. Sedangkan barisan santri yang datang lewat paramiliter Hisbullah dan Sabillilah, bertempur tidak takut mati. Sebab mereka mengikuti keterangan bahwa berjuang untuk mempertahankan negaranya akan dihukumi mati syahid. Satu catatan dari kalangan ahli sejarah adalah saat ketika para santri berani berlari mendekati tank dan panser-panser milik Sekutu. Kemudian para santri-santri ini mendekatkan diri ke arah lapis baja itu dan mendekam granat di tangan mereka. Ketika posisi sudah dekat, mereka menubrukkan badan dan granat itu ke badan lapis baja, sehingga kendaraan itu meledak disusul para santri yang terlibat dalam aksi heroik itu. Lalu Sekutu bertanya-tanya, apakah yang menubrukkan badan itu adalah tentara Jepang? Sebab mereka tahu etos semangat tempur tentara Jepang yang rela mati daripada menyerah. Namun mereka kaget karena tentara Jepang tidak ikut ambil bagian dalam aksi tersebut, melainkan para santri-santri dari barisan paramiliter bentukan Hisbullah dan Sabillillah yang rela berperang mati-matian untuk mempertahankan kemerdekaan, dan menanti ganjaran syahid seperti yang dijanjikan Allah.

Perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan tidak putus sampai di sana saja. Perjuangan terus berkobar dan menyala. Merdeka adalah harga mati. Para pejuang dan santri-santri terus melawan penjajah sampai pecahnya peristiwa Agresi Militer ke 1 dan II yang menyebabkan banyak korban jiwa itu. Namun meskipun begitu, moril mereka ketika berperang tetap tidak jatuh. Para pejuang dan tentara nasional terus melawan balik lewat cara gerilya atau serangan umum seperti yang kita baca dari buku sejarah-sejarah. Indonesia lahir dari perlawanan semacam itu.

Dan atas dasar perjuangan hebat para kiai dan santri inilah, Presiden Joko Widodo pada tanggal 22 Oktober 2015 menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Dimaksudkan untuk mengingat dan meneladani semangat jihad para santri merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang digelorakan para ulama.

 

untuk para santri, kiai, dan para pejuang yang gugur mempertahankan kemerdekaan: Al Fatihah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kepustakaan:

*Sunyoto, Agus., Fatwa dan Resolusi Jihad; Sejarah Perang Rakyat Semesta di Surabaya, 10 November 1945. Jakarta, Lesbumi PBNU, 2018.

*Anderson, Benedict R.O’G., Some Aspect of Indonesian Politics under the Japanese Occupation 1944-1945, Ithaca. Cornell Modern Indonesia Project, 1961.

*Asmadi, Pelajar Pejuang, Jakarta: Sinar Harapan, 1985.

*Benda, Harry J., James K. Irikura, Koichi Kishi, et al., eds., Japanese military administration Indonesia: Selected Documents., New Heaven: Yale University Southeast Asia Studies, 1965.

*Buchori, Purnawan., Perjalanan Sang Pendekar, Tulungangung: Penerbit Pondok PETA, 2016.

*Carey, Peter B.R, Babad Dipanegara; An account of the out break of the Java War (1825-1830). The Surakarta version of the Babad Dipanegara wirth translation into English and Indonesian Malay, Kuala Lumpur: The Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, 1981.

*Dimyati, Mohammad, Sedjarah Perjuangan Indonesia, Jakarta: Widjaja, 1951.

*Frederick, William H. Vision and Heat: The Making of the Indonesia Revolution, Ohio: Ohio University Press, 1988.

*Hidayat, Sjarief., Riwajat Singkat Perdjuangan KH. Zainal Mustafa, Tasikmalaja: Soetarco, 1961.

*Ricklefs, MC., A History of Modern Indonesia since c. 1200. (2008)

*Kurasawa, Aiko., Mobilisasi dan Kontrol, Studi tentang Perubahan di Pedesaan Jawa 1942-1945. Jakarta: Yayasan Kartisarana—PT Gramedia, 1993.

*Notosusanto, Nugroho., Poesponegoro, Marwati Djoened. Sejarah Nasional Indonesia; Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, 1942-1998, Jakarta: Balai Pustaka, 2008.

*Wartheim, Willem. F. Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change, (edisi ke-2), Bandung: Sumur Bandung, 1956.

 

PENULIS:

AGIL FATUROHMAN

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

HUTAN JATI, LINTAH, DAN MUNCULNYA BELANDA BARU

KEJUTAN UNTUK GURU HONORER