KEJUTAN UNTUK GURU HONORER

Potret Guru Honorer



Ia ingin berterus terang kepada atasannya bahwa ia ingin segera berhenti mengurus dan menekuni pekerjaan sialan dan terkutuk itu. Betapa ia sangat terlunta-lunta, jengkel, kurang tidur dan berubah seperti platipus saat hari libur tiba, menghabiskan hari dengan duduk dan terbaring tanpa tenaga dari pagi sampai sore, menjebak diri dan terkatung-katung di dalam kos-kosan sempit berukuran 3x4 meter yang ia dapatkan secara cuma-cuma, setelah indung semang yang merasa iba dengannya karena melancong tanpa tujuan mencari pekerjaan, namun sebagai gantinya ia harus sukarela membantu anak indung semang menggarap tugas-tugas sekolah. Rasanya mengerikan sekali. Perlu waktu bertahun-tahun lamanya untuk mempertimbangkan keputusan yang entah dungu atau penuh keputusasaan ini. Ia sudah berpikir akan mengkhianati janji mulianya kepada seluruh teman dan kerabat, tentang mimpi dan cita-cita yang ia gembor-gemborkan saat masih berumur belasan tahun. Kini ia ingin jadi gembel saja, duduk di bangku taman dan pergi menodong belek kosong kepada orang-orang. Itu lebih jauh dari kata buruk dan tampak menjanjikan daripada harus bekerja keras dan bangun setiap jam lima pagi, mematikan alarm, memanggul handuk dan menguap puluhan kali, sebelum sisa-sisa pikirannya meyakini bahwa akan ada jalan baik untuk hari esok--setidaknya, gajinya yang memalukan itu akan diganti dan pemerintah--ia tidak tahu harus menyalahkan kepada siapa. Saat waktu suntuk tiba, ia sering berubah berapi-api dan mulai melayangkan surat tanpa pernah punya nyali untuk segera mengirimnya. Penanda surat itu sering ia mulai dengan pembuka kalimat, Yth: Bapak Presiden, Gubernur, Wakil Wali atau Kepala Dinas Pendidikan, yang baginya sama saja membuat pusing dan membuatnya memaki itu. Bayangkan saja, kurikulum terus berganti setiap tahunnya, dan ia selalu menemui seluruh murid setiap hari dan menyapa dengan perkataan: hei, ada hari cerah saat umurmu mecapai 20 tahun, negara kita sedang gencar-gencarnya menyambut bonus demografi yang ceria dan gemilang, mencari pekerjaan sama mudahnya ketika kalian mencari warung kopi. Tapi nahasnya ia merana dengan apa yang ia katakan sendiri. Ia jauh dari hidup makmur dan cukup. Ia sudah terbelenggu dari kota yang sumpek dan asing ini sejak ijazah terakhirnya diterima oleh kepala sekolah yang tampak sudah sangat uzur dan pikun, sesekali budeg pula, namun sudah memiliki catatan tunjangan dan hari depan yang cerah bersama cucu-cucu gemasnya. Sejak hari yang ia ungkapkan sebagai hari penuh keberuntungan itu, yang sekarang kebenaran itu tak lagi ia yakini, baginya itu adalah awal saat penderita dan kesialannya bermula. Ia masih ingat saat pergi ke toko busana, berjalan anggun dan memilih dua pasang baju formal untuk keperluan mengajar. Jeda seminggu, setelah menimbang-nimbang bahwa ia akan selalu datang terlambat apabila terus menunggu datangnya angkutan yang seringkali mogok dan ngetem di jalan, maka ia berpikir untuk membeli sepeda motor bekas yang cicilannya bisa lunas selama empat tahun masa pengabdiannya. Gajinya yang hanya 300 ribu perbulan itu tidak pernah cukup untuk membayar segala keraguannya itu, dan segera sadar bahwa neraka sudah tiba di ambang matanya. 


Ketika tiba hari Senin, saat seharusnya ia berangkat lebih pagi untuk menyalin dan menyiapkan berkas laporan kurikulum, ia memilih mangkir dan meneduh di sebuah tempat wedangan. Ia membuka satu-satunya buku catatan yang ia miliki, lalu sesekali terbaruk begitu tahu kasbonnya di sejumlah kantin dan wedangan telah menumpuk. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, dengan mengandalkan muka ibanya, ia mulai bercerita kepada pemilik wedangan bahwa ia memiliki sedikit tabungan di kampung setelah bertahun-tahun hidup merantau di kota. Tabungan itu berupa sepetak kebun yang saat masim hujan tiba, akan dibajak orangtuanya menjadi sawah yang subur. Hasil panen itu ia bawa pergi ke kota dan akan ia janjikan untuk menutupi seluruh utang-utangnya. Dengan suara kecil dan menyesal, ia berubah lesu dan tertunduk malu, harapan hidup mapan di kota sebagai pengajar honorer tak sanggup ia bayangkan lagi. Lapar di perutnya sama parahnya dengan budaya membaca murid Indonesia yang buruk. Kalau-kalau ia tidak merangkap pekerjaan sebagai guru privat di beberapa rumah tetangga yang setiap sore ia kelilingi, ia mungkin sudah lama mati tak berdaya karena uang yang diharapkannya tak sanggup memberikannya kekuatan. 


Tiba-tiba telepon berdering. Didit temannya menelepon, bunyi suara panggilan itu terdengar begitu melengking;


"Halo?" Ia bertanya.

"Halo??" Ia mengulangi lagi.


"Tolol!" Didit langsung menyela, menyerobot panggilannya dan memaki. 


"Presiden menelponmu," katanya, ia bercerita pukul 8 pagi sekolah mendapatkan panggilan khusus dari Greater Jakarta. Seorang ajudan di seberang panggilan mengatakan bahwa presiden Indonesia ingin berbicara sesuatu kepadanya yang seorang guru honorer di sekolah dasar.


"Presiden siapa?" Ia agak kesal, setahunya Didit tak pernah berpura-pura, namun ia tak yakin bahwa berita itu memang benar-benar terjadi.


"Presiden Indonesia!"


"Siapa?"


"Yang fotonya sering kau usap-usap setiap minggunya."


"Jangan menipuku!" Ia mulai merasa dipermainkan. Ia lalu menengok kanan-kiri, keadaan di wedangan itu masih sepi dan sunyi.


"Dasar goblok! Segera datang ke sekolah, atau para tentara akan menjemputmu karena mangkir dari panggilan presiden!"


"Kau sudah gila, Dit!" Ia membuang muka.


Tiba-tiba dering telepon itu semakin ramai oleh suara orang-orang yang memanggil namanya. Yth Bapak Presiden memang benar-benar menelponnya, ia ingin berbicara sesuatu dengannya.


"Mana mungkin!"


Lalu terdengar suara tukang kebon, yang segera diserobot oleh suara kepala sekolah yang mencari-cari keberadaannya.


"Datanglah ke mari! Presiden dan Dewan Menteri memanggilmu!" ucap suara di seberang yang berdenging seperti lebah.


"Tunggu dulu, sepertinya presiden sedang mengadakan kunjungan di Beijing. Ia kan sekarang kerjasama bilateral dengan Xi Jinping. Menteri Pertahanan juga sedang menepi di Paris, berbincang-bincang dan menimang-nimang pembelian pesawat tempur model baru. Dan Menteri Kelautan juga sedang mengarung kapal-kapal brondol dari Vietnam. Jadi presiden mana yang bapak maksud?" tegasnya.


Tapi tak lama suara-suara di seberang panggilan itu semakin membesar, kini bukan lagi suara orang, tetapi suara sirine dari kepolisian, anak-anak yang berteriak terpukau, dan denging bunyi musik lagu Omar Bakrie, yang entah dari mana, beberapa penggal lirik lagunya ikut terdengar.


"Di mana kau?"


"Di mana kau?


Karena tidak kuat dengan bunyi berisik itu, ia menutup panggilan di teleponnya.


Sekarang ia bersendopoh di dinding warung. Pesanannya yang sudah datang sama sekali belum ia sentuh. Kipas angin di warung reot itu mengipasi rambut dan menampar-nampar mukanya yang terkejut. Ia sudah tidak tahu harus bagaimana lagi. Buat apa presiden memanggil dirinya? Ia memang seorang guru honorer yang apes dan kurang beruntung. Tetapi ia pikir selama ini ia tidak sendirian. Guru-guru yang lebih apes dan nasibnya lebih buruk darinya malahan lebih banyak. Ia tidak sendiri. 


Ia lalu terhenyak, jangan-jangan kepala sekolah dan Didit menipunya. Suara-suara yang ramai di panggilan telepon, dan nomor yang tertera, mungkin hanyalah akal-akalan orang untuk membohonginya. Apa mungkin sebab ia mangkir dari sekolah pagi ini, jajaran guru dan kepala sekolah yang sudah muak padanya ingin membuatnya deg-degan. Kampret! Ia memaki.


"Buk! Kasbon lagi ya." Ia memanggil penjaga warung, bersiap dan segera bergegas menuju kontrakan.


"Lima ribu."


"Tulis saja di buku."


Setengah sembilan, ia menyusuri jalan pulang ke kontrakan. Jalan-jalan di sekitarnya ramai dan riuh. Terompet truk besar kadang membuatnya melonjak dan terkejut.


Teleponnya berbunyi lagi. Kali ini ia semakin yakin akan kebohongan itu. Guru seperti dirinya memang memiliki intuisi dan nalar yang bagus. Ia berhenti sebentar, menepi dan berlindung di bawah pohon karsen yang rindang. Ia membuka telepon selulernya, dan segera tahu bahwa ada kiriman pesan SMS, dengan nomor, yang lagi-lagi, mempunyai alamat Greater Jakarta.


"Sialan!" Ia memekik.


Pesan SMS itu ia buka. Tampaknya seseorang telah merangkai dan menyusun tulisan yang khusus ditulis untuknya.


 *Selamat pagi, Tuan Ia.


Selamat ulang tahun. Selamat hari guru.


Presiden Indonesia sangat mengapresiasi apa yang Anda tekuni selama bertahun-tahun.


Selalu berjuanglah dan bersabar. Rahmat Tuhan akan menyertai orang-orang yang berserah diri pada-Nya.


Jangan balas pesan ini jika Anda meyakini ini adalah pesan palsu.


Salam kebajikan. 


Istana Merdeka, 12 Desember 2023.




*

Hanya pesan tanpa hadiah. Ia tersenyum kecut. Ia membayangkan kegaduhan tadi pagi, dan menertawai apa yang ia baca dari pesan itu. 


Mungkin ini ganjaran bagi guru yang malas sepertinya. Tanda peringatan yang membuatnya semakin merana. 



Penulis

Agil Faturohman

Comments

Popular posts from this blog

SASTRA FEMINIS, PEREMPUAN, DAN PERLAWANAN YANG TAK PERNAH PADAM.

PENGARUH CERITA RAKYAT DALAM PEMBENTUKAN NAMA BLORA