PENDIDIKAN SI MISKIN BUKANLAH TAKDIR, TAPI BUATAN MEREKA YANG SOK KUASA
Oleh: Sahabat Muhamad Tauvikur Rohman
(kabid: kajian wacana)
Falsafah
kebangsaan Indonesia yang konon katanya mengutamakan keadilan sosial bagi
seluruh warganya sampai saat ini belum terealisasi. Khususnya di dalam dunia
pendidikan. Karena fakta pendidikan yang terjadi di Indonesia saat ini bagaikan
borok yang ditutup kain daster (memalukan jika diketahui orang lain). Hal ini sangat berbanding terbalik
dengan amanat UUD 1945 yang mengatakan bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan
salah satu tujuan Negara.
Data
dari UNICEF (United
Nations Children’s fund) tahun 2016 ada sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat
menikmati pendidikan lanjutan yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar
(SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ada juga
beribu-ribu anak miskin di berbagai daerah yang mendapatkan pendidikan, namun
pendidikan sampah, palsu, tak berkualitas, terpinggirkan, yang tidak kompeten
dalam membangkitkan kesadaran dan kecerdasan peserta didik.
Kebanyakan sekolah pinggiran yang sering luput dari perhatian
pemerintah, lebih-lebih sekolahan swasta dibawah naungan yayasan tertentu,
kurang mempunyai tenaga pendidik yang kompeten di bidangnya. Saya sering
menemui hal semacam ini, yang sudah biasa terjadi di sekolahan swasta. Yaitu seorang
guru mengampu lebih dari satu mata pelajaran yang tidak sesuai dengan latar
belakang pendidikannya, apalagi bakatnya.
Mungkin sebagian orang yang kurang menaruh perhatiannya pada
pendidikan, menganggap ini sebagai hal yang biasa saja, tak ada masalah, dan
mungkin ada juga yang mengatakan hal ini sebagai problem solving atas permasalahan kurangnya tenaga pendidik yang
mau dibayar murah. Bayaran yang hanya cukup untuk biaya transportasi dari rumah
kontrakan si guru sampai ke sekolahan.
Jika Si pengelola sekolahan
mau menyadari betapa bahayanya seorang anak yang diajar oleh tenaga
pendidik yang tidak kompeten di bidangnya, mereka tidak akan sembarangan mempercayakan tugas mengajar pada seseorang
yang ditemuinya. Karena seseorang yang mendidik bukan pada bidangnya hanya akan
menyampaikan materi yang ada di buku paket (sebut saja LKS) kepada para peserta
didik, tanpa mau mengkaji hal-hal apa saja yang berhubungan dengan mata
pelajran tersebut.
Aktifitas di kelas jadi monoton dan membosankan. Pesereta didik
dianggap sebagai objek mengajar yang hanya bertugas mendengarkan guru
berceramah di depan kelas, bukan sebagai subjek yang bisa berpikir dan
mempunyai hak untuk berpendapat. Bahkan seorang tenaga pendidik yang kejam,
melarang para peserta didik bertanya dan berpendapat, untuk menutupi
ketidakmampuannya. Pengetahuan peserta didik menjadi terbatas dan terkesan
spekulatif yang hanya memandang suatu permasalahan berdasarkan benar-salah,
pahala-dosa, surga-neraka, tanpa mampu menganalisa kenapa permasalahan tersebut
bisa terjadi.
Anak menjadi korban dari mereka yang mengkomersialkan pendidikan.
Atau mereka-mereka yang memperalat lembaga pendidikan sebagai basis
mengumpulkan masa pendukung golongan tertentu, dengan membangun departemen
pendidikan bernuansa golongan mereka. Ada juga partai politik yang mendalangi
pelembagaan ini, mendukung departemen akademik yang sesuai dengan latar
belakang politiknya.
Dampaknya, sekolahan tersebut hanya disibukkan mencari masa
(peserta didik) dan seringkali melupakan peningkatan kualitas. Berbagai cara
dilakukan untuk menarik masa, dengan tak-tik politik praktis juga tentunya.
Mereka (sekolahan) yang berduit akan
mengiming-imingkan seragam dan uang gedung gratis. Tak jarang juga
mengiming-imingi uang kertas bergambar Soekarno untuk para peserta didiknya dengan syarat bisa
mengajak tetangga, teman, atau sanak family bersekolah di tempat tersebut.
Sekolahan seperti inilah yang saya sebut sekolahan sampah dan tak
berkualitas, yang dihuni oleh sebagian anak-anak miskin di Indonesia. Sangat
berbeda dengan sekolahan elite dan mahal yang mempunyai tenaga pendidik
berkualitas dengan sistem pendidikan yang sudah teruji pula keberhasilannya.
Namun sayang, anak-anak miskin tak bisa menyentuhnya.
Melihat permasalahan seperti ini seharusnya Negara hadir sebagai win-win solution atas ketimpangan yang
ada. Pemerintah seharusnya menjadi sosok pertama yang mebahas dan menyelesaikan
permasalahan ini, karena mereka adalah wakil rakyat. Tetapi akan berbeda hal
jika kecurigaan sebagian aktivis pendidikan terhadap pemerintah benar adanya
seperti yang dikatakan oleh Gramsci, bahwa pendidikan adalah lembaga untuk
melancarkan hegemoni kelas penguasa terhadap kelas tertindas. Sehingga
pemerintah sengaja membiarkan orang-orang miskin tak menyentuh pendidikan
berkualitas, yang nantinya bisa mengancam hegemoni kekuasaan pemerintah itu
sendiri.
Ketidak-mauan Negara hadir sebagai solusi penyelesaian masalah
pendidikan, terlihat dari regulasi hukum yang membahas pendidikan merata dan
berkualitas. Jika orang-orang miskin ingin berontak dan menuntut pemerintah
melalui UU No. 20 tahun 2003 pasal 5 ayat 1 karena tak mendapatkan pendidikan
yang layak. Pemerintah akan menjawabnya dengan pasal 6 ayat 2 sambil duduk
santai, merokok, dan berkata “bukankah kamu juga turut menanggung
keberlangsungan pendidikan ?”.
Benar-benar regulasi yang berputar di lingkaran setan.
Comments
Post a Comment