TAPEL ADAM


Pondok Pesantren 



Sebelum meninggal dan dimakamkan di pesarean sore tadi, Mbah Ulum yang sudah tua dan sakit-sakitan itu memanggil keenam muridnya di rumahnya yang sederhana dan nyaris tanpa perabotan. 


Ketika datang di sana, ke enam muridnya yang kini sudah dewasa dan beranak pinak itu tak lagi bertanya-tanya, tentang berbagai pertanyaan dan rahasia yang tersimpan di kepala mereka, yang sudah lama tertimbun bersama uneg-uneg yang paling lancang.


Mula-mula telah datang seorang lelaki asing yang mengaku datang dari seberang, perawakannya pucat dan tingginya nyaris 2 meter. Ia bernama Mbah Rohadi dan mengatakan bahwa ia adalah murid satu angkatan Mbah Ulum saat masih nyantri di Tegalsaren. Katanya, pesantren tua itu sekarang sudah tak ada, sebab setelah satu-satunya pengasuh meninggal dunia, kesemua santrinya pergi melarikan diri karena dikejar tentara. Kata Mbah Rohadi, masing-masing dari mereka menyimpan kitab rahasia, semacam ilmu titen dan ajaran-ajaran Islam zaman dulu yang ditulis tangan secara turun-temurun, namun menjadi alat propaganda para komunis yang menuduh seluruh murid-murid pondok Tegalsaren mengikuti ajaran ilmu sesat yang mereka pelajari dari kitab kuno Tapel Adam.


Ke enam murid Mbah Ulum itu sebetulnya biasa-biasa saja. Dua di antara enam itu bekerja menjadi petani dan petambak di daerah pesisir. Yang dua lagi merantau sebagai marbot di masjid agung Surabaya dan guru ngaji di sebuah madrasah kampung yang jauh dari keramaian. Salah satunya agak bernasib baik setelah tahun lalu berhasil menjadi kamituwa, dan satunya lagi, namanya Kenti, hidupnya mengelana dari satu kuburan ke kuburan yang lain. Orang-orang bilang, ia sedang melakukan tirakat nyarkub, berziarah di makam seluruh wali yang terkubur di Pulau Jawa. Hidupnya yang berpindah-pindah tempat membuatnya sulit dilacak, namun Mboh Rohadi yang sama misteriusnya dengan Kenti tiba-tiba menemuinya di depan gapura makam Sunan Bonang. Mbah Rohadi memberi selendang putih tenun kepada Kenti dan berkata;


"Besok kita akan bertemu lagi di rumah gurumu yang ada di kampung."


Kenti tak terlalu menanggapinya, ia hanya mengangguk dan entah mengapa, malam ini mereka bertujuh sudah berkumpul di rumah Mbah Ulum yang beberapa jam lalu telah sama-sama mereka saksikan meninggal dunia


"Kitab-kitab itu dulu disimpan dari bilik keraton, sebab tak sembarang orang bisa memilikinya. Di dalamnya banyak berisi ilmu makrifat dan ilmu tarekat. Apabila salah mengartikan, bisa-bisa orangnya jadi gendeng," ucap Mbah Rohadi. Ia bercerita pada tahun '65 beberapa temannya menjadi incaran tentara batalion 510 karena tertangkap basah bergerilya membawa kitab itu. Hukumannya ditembak mati, dibariskan di tepi sungai sebelum diberondong peluru Thompson. Tuduhan mereka satu: dicurigai sebagai komplotan Eyang Suro yang berpedoman dengan kitab yang sama. Padahal, kitab Tapel Adam yang mereka bawa hanyalah berisi ajakan dan peraturan yang ditulis dari nenek moyang mereka zaman dulu. Ajaran dari leluhur inilah yang mereka bawa dari pesantren Tegalsaren, yang kini sudah hancur karena peristiwa gegeran '65 itu.


"Murid Kiai Slamet yang berasal dari Timur hanya aku dan Ulum. Ketika kami pergi, kami membuat perahu dari kayu mahoni untuk kemudian pergi dengan menyusuri arus Bengawan Solo sampai ke Padangan. Ulum berhenti di sana, sementara aku berhenti di Gresik. Ulum mengganti namanya menjadi Mbah Jogo, sebab seorang letnan yang dulu mengincarnya ternyata tinggal di seberang desa dari letak persembunyiannya sekarang."

 Tetapi yang orang tahu adalah Mbah Ulum datang dari kampung kecil di Kabupaten Magelang, ia terlunta-lunta dan mengaku korban dari peristiwa '65, lurah kemudian menampungnya dan Mbah Ulum segera dipercaya memperbaiki musola dan mengurus kegiatan ibadah di sana setiap waktu. Selang beberapa tahun ia membangun pondok kecil dari kayu jati dan mengajak anak-anak desa untuk mengaji kitab kuning, di sela-sela kegiatan mengaji mereka diajari menembang dan bersyair. Ke enam muridnya inilah, termasuk Kenti, yang paling dianggap Mbah Ulum untuk mampu diberi wasiat seusai dari apa yang ia yakini.


Tiba-tiba Mbah Rohadi yang sudah tua itu menaiki plafon rumah kayu Mbah Ulum, ia mencungkil lubang kecil yang berada di ujung, sebelum segaris lubang itu menganga dan ke enam muridnya tahu bahwa di atas lotang itu ternyata ada sebuah peti kecil berukir Jepara yang disembunyikan Mbah Ulum.


Mbah Rohadi membawa peti itu turun, ia membukanya dengan pelan-pelan, bercerita bahwa ada banyak sekali orang-orang di luar sana yang tak bisa membedakan kitab-kitab yang disembunyikan ini. Bila mereka salah menerka, mereka akan menganggap kalian menganut ilmu kebatinan. Tetapi sebaliknya, kedua kitab yang kini dipegang Mbah Rohadi, yaitu kitab Jamus Kalimusada dan Tapel Adam, justru berisi kebijaksanaan hidup dan kearifan lelaku.


"Untuk mencapai derajat manusia yang sempurna, paling tidak kalian harus bisa memahami dan melakoni isi di dalam kitab ini," kata Mbah Rohadi.


Ke enam murid Mbah Ulum tak ada yang berbicara, mereka hanya diam dan membisu. Kenti adalah orang pertama yang penasaran dan membaca isi kitab itu, ia ragu-ragu membuka halaman-halaman yang dicetak dari kulit kambing muda itu. Begitu sampai di ajaran kebaktian hidup, tiba-tiba seleret cahaya muncul dari lubang jendela, berwarna putih seperti nur dan membuat silau mata mereka.


Mbah Rohadi menghilang pada malam itu, hingga pada akhirnya hanya Kenti satu-satunya murid Mbah Ulum yang mencari jawaban dan mempelajari isi kitab dari gurunya.


Sementara lima orang murid Mbah Ulum lainnya meninggalkan pondok kayu itu dengan perasaan was-was.


Benarkah yang mereka pandang itu cahaya? Dan di mana Mbah Rohadi yang sebenarnya sudah mati itu bisa datang tepat pada malam keajaiban itu?


Kenti meneruskan pengembaraannya.


Penulis


Agil Faturohman, 

Ketua Komisariat Sunan Pojok.

Comments

Popular posts from this blog

SASTRA FEMINIS, PEREMPUAN, DAN PERLAWANAN YANG TAK PERNAH PADAM.

PENGARUH CERITA RAKYAT DALAM PEMBENTUKAN NAMA BLORA