PENGARUH CERITA RAKYAT DALAM PEMBENTUKAN NAMA BLORA
a. Pendahuluan
Merujuk pada data yang tertulis, Tumenggung Wilatikta merupakan bupati
pertama Kabupaten Blora, pengangkatannya dicatat juru tulis bertepatan hari
Kamis Kliwon, tanggal 2 Sura tahun Alib 1675, dalam kalender Masehi, 11 Desember
tahun 1749. Naiknya Tumenggung Wilatikta menjadi bupati Blora, merupakan
peninggalan pemerintahan Mangkubumi yang telah mengalahkan Mataram.
Sampai dengan sekarang, dongeng tentang Blora: baik yang berupa
folklor, dibualkan dari mulut ke mulut, maupun lontar dan babad kuno hanya
sedikit yang menyinggung terkait penamaan kota Blora. Maka muncul pertanyaan
yang mengusik pikiran. Mengapa kota yang 60% wilayahnya masihlah hutan
belantara ini dinamakan Blora? Apa sebab-sebabnya, dan apakah ada literatur
kuno yang menyinggung Blora sebelumnya, ini tentu perlu kita telisik dan
perbaiki lagi kenyataannya.
b. Permasalahan
Bila merujuk dalam pupuh Dandhang
Gula, yang dikisahkan pada Babad Giyanti, pengangkatan Tumenggung Wilatikta
ini memang betul-betul terjadi; yang mana, ini menjauhkan anggapan bila hal itu
merupakan kisah fiktif/legenda. Setelah perang lokal yang membuat Jawa
porak-poranda, pemerintahan Mangkubumi berhasil menguasai wilayah-wilayah milik
Mataram, termasuk daerah Bang Wetan yang terdapat daerah administrasi kecil
seperti: Grobogan, Wirasari, Rembang, Blora, sampai Pati. Sebab kekalahan dari
Mataram, maka seluruh wilayah di Bang Wetan diserahkan pula kepada pemerintahan
Mangkubumi, itu seperti yang disarikan dalam perjanjian Giyanti-Mataram. Dalam
isi pupuh yang ditulis, sudah terjadi perbedaan penyebutan dari ucapan orang
lama ke bentuk yang kita kenal sekarang. Juru tulis kasultanan menyebut Blora
sebagai: Balora.
‘’Pepak
andher sanguning bupati, Pangran Tumenggung Gadamastaka, ugi anunggil barise.
Mentas andon anglurug, bedhah ingkang Balora nagri. Tumenggung
Wilatikta, Balora wus ngumpul. Suranata awawarta, yen pangeran
masanggrahan Pelem desi, wusya rerep watara.’’
Terjemahan bebas:
(Tumenggung Pangeran Gadamastaka baru saja menaklukkan Blora
seperti pesan Pangeran Mangkubumi ketika akan berangkat ke selatan dahulu.
Tumenggung Wilatikta Blora menyerah dan bergabung. Adipati Suranata yang baru
saja dari selatan mengabarkan kalau Pangeran Mangkubumi sekarang bersarang di
Desa Pelem)
Ini bisa kita teliti lebih lagi: bahwa pada tahun 1749, orang masih
mengenal Blora dengan sebutan Balora. Pemetaan dan perubahan bentuk ini
menghilangkan huruf ‘a’ setelah pengucapan nama pertama ‘b’ yang kemudian
melebur dan menyisakan 5 huruf saja. Pada masa kolonial Belanda, ketika para
pejabat mengirim insinyur-insinyur untuk membangun kota Cepu, waktu itu mereka
sudah menyebut ibukota kabupaten dengan sebutan Blora, (Konsensi Panolan, 1853)
Sedangkan asal-usul yang paling kesohor mengenai penamaan kota ini
adalah; dahulu orang-orang yang pertama menetap di Blora memberi nama sehampar
tanah yang berisi permukiman dengan sebutan Mbeloran. Menurut cerita, kala itu di
tengah-tengah kota masih merupakan tanah liat yang berlumpur, sebab letaknya
dihimpit oleh pengunungan yang berdaki-daki. Karena hujan yang terus-menerus,
daerah becek itu kemudian dinamakan Mbeloran. Secara etimologi merupakan
penggabungan dua asal kata Wai+Lorah. Wai artinya air dan lorah
artinya jurang yang menjorok, atau tanah yang rendah.
Tapi nama itu tak sendiri. Beberapa sumber tulisan memberi
arti yang berbeda terkait penamaan kota Blora. Seperti yang diketahui, pada
masa Demak, dahulu Blora cuma wilayah kecil yang dikepung oleh hutan belantara
dan pedesaan. Tempat yang jadi pusat peradaban adalah Jipang Panolan, sebab di
sana terdapat padepokan, sekaligus istana kadipaten milik Aryo Jipang, dan saat
itu, Blora masih masuk dalam administrasi wilayah Kadipaten Jipang. Barulah
pada masa Pajang, beberapa tempat di Blora mengalami perubahan, perkampungan
pun semakin berdempet-dempet, dan itu ditambah pula oleh pengungsian
orang-orang Jipang yang berbondong-bondong menuju Blora sebab perlakuan tidak
manusiawi tentara dan pejabat Pajang, setelah Aryo Jipang tewas ditikam
Sutawijaya dalam satu pertempuran sengit di Bengawan Sore. Itu ditambah pula
dengan kemunculan orang-orang Tionghoa, yang bersauh di Lasem dan mencari
penghidupan lebih layak ke arah Selatan. Beberapa keturunan kemudian
beranak-pinak di Jepon dan Kota, (ini masih dapat dilihat dari bekas bangunan
dan lapak toko Pecinan) akan tetapi pusat perdagangan dilakukan di Blora, yang
menjadi pusat titik orang-orang dari penjuru arah. Bukti tentang berkembangnya
bekas wilayah administrasi itu bisa dibuktikan dengan berdirinya kelenteng Hok
Tik Bio yang didirikan pada tahun 1879, itu merupakan ciri-ciri eksodus
orang-orang Tionghoa ke tempat yang lebih ramai, dan didirikannya masjid agung
Baitunnur yang dibangun Raden Tumenggung Jayeng Tirtonoto pada tahun 1774, yang
menjadi pertanda Blora sebagai tempat berkumpulnya orang-orang kadipaten.
Sedangkan cerita yang menyinggung tentang asal-usul penamaan kota
Blora antara lain:
1. Versi Cerita Calon Arang.
Cerita ini mula-mula dipaparkan oleh Prof. Dr. Purbatjaraka, yang
memiliki kesimpulan menarik terkait sebuah dongeng lama yang terjadi sejak
zaman Raja Erlangga (abad 11). Asal-usul cerita ini bermuara ke tokoh cerita:
Calon Arang, ia adalah seorang janda parobaya yang dikatakan menyembah Dewi
Durga (Dewa pemberi balak) dan mempelajari ilmu hitam untuk membuat kehancuran
di Daha. Di saat yang bersamaan pula, ada seorang pertapa yang mengamalkan
kitab Weda, ia lelaki yang tulus dan penyebar amal saleh, namanya Empu Baradah,
tempat tinggalnya di Wurare.
Kata Wurare sendiri secara etimologi berasal dari Bhu=tanah,
dan rare=anak. Oleh orang-orang dahulu, tempat tinggal Empu Baradah
dinamai pula dengan sebutan Lemah Patra, atau Lemah Putra. Dalam Cerita Calon
Arang, disebutkan bahwa tempat tinggal Empu Baradah adalah Lemah Putra, dalam
kitab Nagarakretagama pun menyebut demikian. Sementara kata Wurare sendiri
sebetulnya dari bentuk asal kata Wurara. Namun sebab penduduk pada waktu itu
kurang memahami bahasa, nama-nama ini mengalami banyak perubahan dari Wurara,
ke Wurare, ke Wrura, menjadi Wlura, Blura, Balora, dan Blora. Ini bisa
diartikan bahwa tempat kediaman Empu Baradah adalah Blora pada masa sekarang.
Bahkan kata Wurara ini sudah muncul sejak tahun 827 C, yang dikenal
dengan nama Hurantan. Dalam bahasa Jawa Kuno, kata ntan merupakan bentuk
krama dari ra, sehingga bila dimaknai secara harfiah, disebut pula
sebagai Hurara. Hurantan ini dapat disamakan dengan nama kerajaan tua yang
pernah disebut dalam berita Tiongkok agak kuno dengan nama Ho-lo-tan, yang
diberitakan memiliki hubungan dengan kerajaan Tiongkok, dan sejak tahun 430,
436, 449, dan 452 Masehi, telah mengirimkan utusan ke sana. Sementara raja
negeri Hurantan disebut mempunyai nama Che-li-p’o-ta-t’o-a-la-pa-mo yang bila
dieja, dapat dikira-kirakan bernama: Cri bhatar(ra) Dwarawarman. Jika catatan
ini benar, maka Hurantan adalah kerajaan purba yang telah berdiri sebelum
Kerajaan Kalingga (berdiri 594 M dan runtuh 695 M).
2. Versi Kadipaten Bangir
Setelah Perang Java Oorlog (1825-1830), Naya Gimbal—salah
satu pendekar Pangeran Diponegoro, melakukan pemberontakan ke Kadipaten Bangir.
Penyerangan itu membuat kota Bangir porak-poranda dan banyak korban tewas
bergelatakan. Adipati Bangir kemudian bersemedi untuk mendapatkan wangsit,
dalam mimpinya, ia mendapat petunjuk bahwa adik lelakinya, Wedana Ngadi, adalah
satu-satunya orang yang bisa mengalahkan Naya Gimbal.
Pertempuran balasan terjadi, dan Wedana Ngadi berhasil mengalahkan
Naya Gimbal beserta balatentaranya. Oleh sebab rasa bahagia yang meluap-luap,
Adipati Bangir kemudian memberikan hadiah kepada adik lelakinya itu berupa
separoh daratan Kadipaten Bangir. Singkat cerita, dilantiklah Wedana Ngadi
menjadi bupati baru. Dan tamu-tamu dari pejabat Afdeling berdatangan membawa
banyak sekali hadiah. Salah satunya ada yang membawa kuda teji. Namun sebelum
dihadiahkan, kuda itu tiba-tiba sakit, sehingga Bupati Ngadi, yang waktu itu
belum memberikan nama untuk daerah kekuasaannya, mendapat ide dari peristiwa
yang telah dilihatnya. Ia lalu memberi nama Belora untuk kadipaten baru ini.
Diambil dari kata belor=kuda, dan lara=sakit. Ketika meninggal,
Bupati Ngadi disemayamkan oleh penduduk di sebuah tempat, yang kini dikenal
luas dengan nama Ngadipurwo.
3. Kesimpulan
Dengan bukti-bukti cerita rakyat di atas, itu menandakan sebuah
dugaan bahwa orang-orang zaman dahulu selalu menandai sesuatu dengan sebuah
peristiwa yang memiliki momentum, bahkan orang bisa menamakan sebuah daerah dari
asal kata benda, buah, hewan, pohon, doa, atau sebuah peristiwa yang membekas
di indera mata. Penyebutan Blora juga demikian. Pada mulanya, barangkali,
penyebutan Blora merupakan bentuk perubahan dari Balora, dan Balora bukanlah
nama asal, sekalipun nama ini beberapa kali disebut dalam perjanjian
Giyanti-Mataram maupun Babad Tanah Jawi pada abad 18 M.
Seorang pelancong Belanda, Francois Valentijn, pada paroh akhir
abad 17 M, menyebut sebuah nama kota dengan: Valoora, dan ini disebutkan dalam
buku fenomenalnya, Oud en Nieuw Oost-Indien. Itu berarti, sejak abad 17 orang-orang sudah
menamakan Balora, dan oleh lidah dan pendengaran peranakan Eropa seperti
Francois Valentijn, berubah ejaan bentuknya menjadi Valoora. Ini bisa jadi
merupakan evolusi dari kata-kata lain yang berkaitan, dan oleh bualan dan ejaan
penduduk yang kurang memahami bahasa, perkataan asal mengalami perubahan yang
bertahap.
Sebab sulitnya melacak nama awal Blora sendiri dapat disimpulkan
oleh:
1. Blora bukan wilayah pesisir, sehingga sulit bagi penjelajah, orang
manca, pelancong, atau pun pedagang dari negeri lain untuk bisa melacak
keberadaan atau mendengar namanya.
2. Masyarakat Blora pada abad 7-12 M, kurang bisa memahami bahasa,
dan tidak atau belum terjamah oleh budaya baca-tulis. Seperti dipahami, bahwa
menulis hanya dikenalkan kepada golongan bangsawan, dan itu untuk keperluan
politik mereka.
3. Letak Blora yang dikepung hutan belantara. Tempatnya yang dahulu
masihlah merupakan perkampungan yang sepi, serta tidak dijadikannya Blora
sebagai pusat perdagangan, membuat data atau berita tentang Blora kurang begitu
dikenal.
4. Pada zaman Majapahit, Demak, dan Mataram, wilayah Blora hanya
dijadikan daerah sempalan atau wilayah administari, dibuktikan oleh penamaan
Bang Wetan yang dipeta-petakan dalam beberapa wilayah.
5. Pada masa kolonial Belanda, Blora bukanlah kota besar. Oleh
sebab itu, hanya sedikit, bahkan hampir tidak ada, para akademisi yang tinggal
dan meneliti di Blora selain pejabat mengurus Afdeling dan kantor-kantor
persemakmuran Hindia-Belanda.
6. Belum ada temuan baru tentang hal ini (asal-usul kota Blora)-red.
______________
e. Daftar Pustaka:
1. Toer,
Pramoedya Ananta, Cerita Calon Arang, (Lentera Dwipantara, 2010)
2. Tri Wahyuni,
Umi Farida, Desi Ari Pressanti, Cerita Rakyat Jawa Tengah Kabupaten Blora,
(Balai Bahasa Jawa Tengah Kemendikbud, 2017)
3. Olthof, W.L,
Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Pangeran Purbaya, (Narasi, 2017,
cet-5)
4. Redaksi
Sejarah, Totok Supriyanto, Asal Nama Blora (Liputan Bloranews, 16 Mei 2022)
5. Sejarah
Blora (Wikipedia.com)
f. Lampiran
Prof, Dr, Purbatjaraka |
Arca Mpu Bharada |
Arca Joko Dolog |
Arca Joko
Dolog, merupakan peninggalan dari Kerajaan Singosari, perwujudan dari Raja
Kertanegara. Mulanya arca ini dibangun di areal Candi Jawi. Pendapat lain
mengatakan bahwa arca Joko Dolog dahulu didirikan di sebuah tempat bernama
Wurare. Sekarang arca ini disimpan di salah satu cagar budaya yang ada di Jalan
Taman Apsari, Surabaya.
Kompleks Makam Keluarga Tirtonatan |
Kompleks makam
keluarga Tirtonatan. Berada di sebuah desa bernama Ngadipurwo, berasal dari
kata Ngadi (Bupati Ngadi) dan Purwo (pemula). Menurut tutur tinular warga
setempat, di sinilah letak makam bupati pertama Blora, yaitu Bupati Ngadi, yang
sebelum meninggal, ia berpesan agar disemayamkan di tapal utara yang berbatasan
dengan Kadipaten Bangir. Tempat ini dijadikan kompleks makam para bupati Blora.
Masjid Baitunnur Blora |
Masjid
Baitunnur Blora, dibangun tahun 1774 oleh Tumenggung Jayeng Tirtonoto, ini
menjadi tanda peradaban Kabupaten Blora, sekaligus warisan sejarah dari para
leluhur. Ada pembuktian lain bila Masjid Baitunnur sebetulnya dibangun oleh
Sunan Pojok pada tahun 1772, sebelum diteruskan pembangunannya oleh Tumenggung
Jayeng Tirtonoto.
Kelenteng Hok Tik Bio |
Ada banyak
kelenteng Hok Tik Bio yang tersebar di berbagai tempat. Sementara kelenteng Hok
Tik Bio di Blora dibangun pada tahun 1879 oleh beberapa peranakan keluarga
Tionghoa. Salah satu ciri-ciri peranakan Tionghoa pada zaman dulu adalah
membangun tempat tinggal untuk berdagang di tempat ramai yang dijadikan
masyarakat sebagai titik kumpul. Maka selain Masjid Agung Baitunnur yang
dibangun di samping pendopo kabupaten, kelenteng Hok Tik Bio juga merupakan
bukti peradaban Kabupaten Blora yang masih berdiri sampai sekarang.
Penulis
Agil Faturohman
Comments
Post a Comment