PERJANJIAN PALING MENIPU SELAMA REVOLUSI
Sebelum berubah menjadi toko bangunan Wesi Aji, dulu tempat yang besar dan luas di tengah kota Blora ini merupakan hotel bernama Oranje. Penerusnya seorang janda dari Tuan Samuel yang meninggal karena doyan minum-minum. Sebetulnya hotel itu menguntungkan, namun Magda—istrinya itu tak bisa setia mengurusnya. Pada bulan-bulan paling kacau setelah pemberontakan dan revolusi Magda menjual hotelnya kepada pria separuh baya bernama Asiong. Hotel Oranje lalu berganti tangan dan Magda sempat tak bisa dilacak ke mana perginya.
Sepuluh tahun berlalu, hotel Oranje dipugar dan separuh bagian
depannya berubah menjadi muka toko yang menyediakan alat pertukangan dan alat bangunan.
Asiong membongkar hampir seluruh pernak-pernik dan perkakas hotel yang memang
ditinggalkan Magda dengan buru-buru. Sebelum pemberontakan pertama terjadi di
Blora, beberapa bulan menjelang revolusi, ia memang terlebih dulu berkeliling
mencari kenalannya yang tersisa, mereka para perawat dan dokter yang bekerja di
rumah sakit umum, dan Magda meminta bantuan agar membeli emas dan barang-barang
berharga miliknya. Dalam perjalanannya berdagang harta itu, ia selalu ditemani
seorang pria kurus berkulit kuning, matanya sipit namun perawakannya kokoh dan
garang. Pria itu terus menemaninya pergi, hanya saja selalu menjaga mulutnya
saat orang bertanya, itulah yang menimbulkan curiga teman-teman Magda.
Kadang-kadang keduanya berboncengan menaiki sepeda berkeliling Blora saat ingin
membeli sesuatu. Saat rombongan tentara Indonesia pimpinan Kolonel Sudisman
tiba di Blora pada April 1946, kemudian mulai membersihkan rumah dan beberapa
pabrik yang dikelola orang Belanda, Magda dan pacarnya semakin membatasi diri
keluar dari rumah. Namun sebentar-sebentar datang bujang yang masih setia
mengirim pesanan makan dan barang-barang. Dalam keadaan yang kacau balau itu,
mereka masih bisa menjual untuk bertahan hidup. Tapi Magda merasa ini jauh
lebih baik dari penyiksaan yang ia dapatkan di kamp. Ia memang berhasil keluar
dari kamp interniran yang ada di Bojonegoro, dan secara sembunyi-sembunyi
dibebaskan keluar oleh pacarnya dengan alasan terjangkit sipilis. Namun setelah
keluar dari kamp dan bertahan hidup di tempat persembunyian bersama pacarnya,
Magda tak berani lagi bertatap muka dengan teman-temannya yang selamat. Ia
bahkan menutup diri dari kemungkinan bergabung kembali dalam undangan pesta
atau bergabung dalam serikat perkumpulan. Satu-satunya teman yang tahu
keberadaannya di kamar semang ini adalah Piet, yang kadang datang membawa selai
dan roti, berbagi cerita dan menghisap rokok di beranda kamarnya yang penuh sesak.
‘’Bagaimana kabar dari luar?’’ tanya Magda, ia sudah berhari-hari
mengintip dari balik jendela semua kekacauan yang telah terjadi.
‘’Kudengar orang Indo dan tentara kerajaan terus mengejar sisa-sisa
orang Jepang. Orang Indo menganggap tentara Jepang bisa membuat celaka,
sementara tentara kerajaan perlu menangkap sisa-sisa tentara itu untuk dibawa
ke pengadilan.’’
‘’Kau harus terus mencari tahu. Ia sangat ketakutan di sini.’’
‘’Hanya karena kau ingin terus membalas budi?’’
‘’Jaga mulutmu! Saito itu pacarku. Ia lemah dan terkepung lautan.
Lagipula ia tentara yang desersi,’’ sekarang nada Magda terdengar mengecil,
lebih kecil dari suara capung yang terbang.
Piet membuang napasnya. ‘’Sepuluh hari yang lalu, enam tentara
Jepang tertangkap tentara Indo dan langsung ditembak mati. Mayatnya diarak
keliling kampung dan surat kabar menulisnya di halaman muka. Orang-orang yang
benci kepada Jepang membawa pergi mayat tentara itu menuju kebun tebu dan
membakarnya seperti jerami.’’
Magda memejamkan matanya, ‘’ dan kupikir nasib kita sebentar
lagi.’’ Kini keduanya melengos, berbagi cerita diteruskan, dan sebelum hari
akan petang, Saito muncul dari belakang dengan penampilannya yang baru.
Rambutnya digunduli dan ia mencukur tanpa sisa jenggot dan kumisnya. Piet
terkejut sebelum kemudian Magda menjelaskannya.
‘’Itu untuk merubah ciri-cirinya serupa orang Cina,’’ ucap Magda.
‘’Ahya, dengan begini sekarang dia bisa bebas di
jalanan,’’ kata Piet. Ia lalu pergi dan berjanji akan datang lagi setelah enam
hari perjalanan kereta api di Pemalang mengambil benih kopi dan tembakau.
Dalam masa-masa itulah Magda menjual hotelnya kepada Asiong. Ia
telah mengetahui keberadaan tentara Indonesia yang mendirikan pangkalan militer
di Kauman, walaupun jumlah mereka masih kecil, namun sering terdengar mereka
melakukan penggedoran dari rumah ke rumah, merampas barang-barang berharga dan
memperkosa perempuan Belanda yang tidak berdaya. Asiong membantu Magda mengurus
barang-barang miliknya yang masih tertinggal di hotel. Tepat tiga bulan setelah
Magda menjual hotelnya, tiba-tiba tentara Belanda telah kembali lagi, kali ini
dibantu tentara Inggris dan sebagian bujang-bujang Gurkha. Maka orang-orang
Belanda yang sebelumnya diburu itu mulai kembali menampakkan muka, tentara
Indonesia telah dipukul mundur dalam pertempuran yang singkat. Lima belas
tentara Indonesia bersenjata pistol dan bambu runcing mati, sementara dari
pihak Belanda hanya tiga orang—satu di antaranya diidentifikasi sebagai mantan
marsose yang berasal dari Ambon. Kota Blora dan kota-kota di sekitarnya sudah
dikuasai orang Belanda lagi. Pabrik-pabrik kecil dan gedung-gedung pemerintahan
telah beroperasi seperti sebelum Jepang datang. Namun Magda tetap tidak berani
menampakkan diri. Ia takut Saito ditangkap tentara Belanda. Apalagi ia
mendengar orang-orang sangat membenci tentara Jepang, dan Saito diburu polisi
Kempetei setelah ia desersi demi menyelamatkan dirinya. Ia mengingat-ingat
perkanalan di tempat paling buruk itu. Keduanya telah jatuh cinta selama di
kamp interniran. Sampai-sampai seorang ajudan Kolonel Nakamura pernah memergoki
mereka bercinta di tempat mandi kamp khusus perempuan yang pesing dan bau.
Ajudan itu memberi ancaman akan mengadukan perbuatan mereka kepada kolonel. Maka
Saito yang berpangkat rendah itu mencari cara agar ia lolos dari aduan. Ia
mengingat bahwa sepertiga perempuan-perempuan di kamp ini telah dicampakkan
setelah dokter kamp mengetahui cacat sipilis dari tubuh para tawanan. Saito
berupaya membebaskan Magda menggunakan tipuan itu dan dibantu seorang temannya
ia berhasil membawa pergi pacarnya tanpa terendus penjaga gerbang depan. Saito
kemudian keluar dari kamp keesokan harinya. Ajudan Kolonel Nakamura mengetahui
hilangnya Saito dan perempuan Belanda yang hilang bersamaan, maka ia segera
melapor polisi Kempetai dan sejak hari itu keduanya dalam perburuan. Saito
desersi dari satuannya, disusul beberapa orang Jepang yang lain. Mereka lalu
bertahan hidup di pinggir bengawan Bojonegoro yang dipenuhi udang dan ikan.
Kadang-kadang mereka membuat takut para petani saat pulang dari menggembala,
dengan menggunakan ancaman pistol dan bentakan-bentakan kasar beberapa ekor
sapi petani berhasil mereka dapatkan untuk dimakan.
Bulan-bulan berlalu dan polisi Kempetai terus mencari keberadaan
mereka. Tentara Jepang yang desersi itu terus bersembunyi di hutan, karena
Magda dulunya adalah perawat, ia bisa mengobati tentara Jepang yang terjangkit
malaria dan demam beri-beri. Baru setelah mereka mendengar kabar kekalahan
Jepang di Asia Pasifik, disusul bom atom dan munculnya gerilyawan Indonesia di
berbagai kota, para tentara yang bersembunyi itu keluar dari hutan dan mulai
menyelinap masuk ke kota pada malam hari. Magda kemudian membawa mereka tinggal
di hotelnya, sebelum ia tergesa-gesa membuat semuanya berpencar. Seorang
babunya telah berkhianat, sebab teman Saito dikeroyok warga saat berkeliling
kota. Saito bicara; lebih baik ia kembali pergi ke hutan mencari keberadaan
teman-temannya di sana. Ia akan kembali ke Jepang, dan Magda bisa hidup nyaman
lagi di sini.
‘’Belanda akan datang lagi menangkap tentara Jepang,’’ kata Saito.
‘’Aku juga Belanda, tapi aku tak menangkapmu,’’ ucap Magda,
membelai-belai pundak pacarnya.
‘’Aku telah berdosa kepada mereka,’’ lalu menceritakan berbagai
pembunuhan dan penyiksaan.
‘’Tinggallah bersamaku, aku juga berdosa kepada orang Indonesia.
Kita akan sama-sama pergi.’’
‘’Ke mana?’’
‘’Aku belum tahu.’’ Itu pertama kalinya mereka berkhayal,
seandainya Jepang dan Belanda bisa dicapai hanya dengan perahu. Maka
pertama-tama Magda menjual hotel warisan dari suaminya, ia mendapatkan untung
yang banyak dari penjualan gemilang itu, sebab ia punya keyakinan tak akan lama
di sini. Piet lalu mengetahui keberadaan keduanya, dan ia semakin sering
berkunjung memberi kabar. Sore itu Piet berterus terang ingin kembali ke
Belanda, setelah menunggu lama peperangan yang nyaris tanpa kesepakatan dan
semakin berlarat-larat ini.
‘’Saat aku pergi ke Pemalang. Aku dapat kabar tentang rute kapal
yang akan menuju Belanda. Hanya dua bulan di laut.’’
‘’Kapal tentara?’’ tanya Magda.
‘’Bukan. Nahkodanya seorang Perancis bernama Louois, ia bisa
berbahasa Belanda dan berkata bayarlah 4.000 untuk setiap orang.’’
‘’Aku ingin membawa pergi Saito ke Belanda,’’ kata Magda.
‘’Itu berarti kau butuh 8.000 untuk pergi ke tanahair.’’
‘’Bawalah punyaku, aku punya 10.000,’’ ucap Magda memohon.
Percakapan-percakapan tentang kepulangan itu dibicarakan sungguh-sungguh dan
mata yang berkaca-kaca.
Pada perbincangan sore hari itu Piet membawa uang yang banyak.
Saku-sakunya penuh dengan uang dan gemerincing koin. Ia berjanji akan tiba
tepat dua minggu pada tanggal 18 Desember nanti. Magda dan Saito bersedia
menunggu kepulangan Piet membawa tiga tiket untuk mereka bertiga.
‘’Kita akan merayakan Natal di atas kapal,’’ Piet tersenyum-senyum.
‘’Kita akan membeli banyak sampanye dan martini,’’ katanya lagi,
melambaikan tangannya.
Magda merasa tak ada hari yang seindah tanggal 18 Desember.
Hari-hari berjalan begitu terasa. Ia menunggu seharian kemunculan Piet dari
beranda rumahnya. Ia menghitung jumlah sepeda dan andong yang berlalu lalang di
depan kamar semangnya. Sore hari saat Saito tiba dari pekarangan belakang
membawa wortel yang telah diicir beberapa bulan yang lalu, dan mereka
berbincang perihal menu makan malam, tiba-tiba muncul dari pintu depan derap
sepatu tentara Belanda yang mengepung membawa senjata. Kini terdengar dobrakan
kasar dan pintu yang hancur oleh dorongan popor. Saito tahu kemunculan tentara Belanda
dan berteriak agar Magda melarikan diri. Teriakan-teriakan itu melolong seperti
suara bencana.
‘’Jangan lari, kirik. Jangan lari!’’ Tentara-tentara yang
muncul paling depan segera menangkap Saito yang tanpa persiapan. Satu tembakan
meletus mengenai lemari kayu. Sementara Magda jatuh tersungkur di sisinya.
Kepalanya berlumuran darah popor. Tentara-tentara itu menggeledah seluruh isi
kamar semang, mereka membawa topi klebet dan sepatu perang milik Saito.
Kemudian menghilanglah mereka diangkut truk tentara Belanda.
Keduanya dipisahkan. Saito dibawa ke penjara dan Magda diungsikan ke asrama.
Magda dikucilkan teman-temannya karena membantu pelarian begundal Jepang.
Beberapa minggu kemudian ia segera dibuang ke Batusangkar bersama para pembelot
dan pemuka Islam yang dianggap menyebar kekacauan. Saito tak terdengar lagi
kabarnya. Tak ada lagi yang bisa melacak keberadaannya. Namun foto mereka
berdua masih disimpan Asiong di dinding toko material miliknya, itulah
satu-satunya kenangan yang Asiong dapatkan setelah pembongkaran kedua.
(Penulis)
AGIL FATUROHMAN, lahir di Blora 2002. Kini aktif sebagai mahasiswa di IAI Al-Muhammad Cepu dan PMII. Kumpulan cerpennya yang sudah terbit, Orang-orang Pribumi (Pataba Press, 2020). Sementara novelnya yang berjudul Melawat akan segera terbit.
Comments
Post a Comment